Workshop Jurnalistik yang Mengancam Jurnalisme, Rabu (8/11/2023). (IDN Times/Amara Zahra)
Soal model bisnis media, Andy mengatakan bahwa di semua media, KG selalu membuat konten yang nantinya didistribusikan ke khalayak pembaca. Lalu, pembaca memberi perhatian dengan cara membaca berita-berita tersebut. Atensi itu kadang bisa dalam format pendapatan uang seperti subskripsi berita. Ini adalah sebuah model bisnis yang sebenarnya tidak asing. Bahkan, semua media umum menggunakan model bisnis ini.
Namun, hal unik yang hanya ditemukan di media berita (news), dan tidak ada di jenis media lainnya adalah trust dan influence, yakni kepercayaan dan kepengaruhan media tersebut dari para pemangku kepentingan seperti pembaca, pemerintah, pengiklan, dan sebagainya.
“Lalu bagaimana kita dapat me-monetize influence ini dan mengubahnya menjadi income? Kami teman-teman di redaksi memang sangat bangga dengan influence yang kita miliki. Kita menulis dan dibaca orang banyak atau penting, maka ada influence di situ. Tapi pertanyaannya, kan, influence itu harus bisa men-generate model bisnis yang bisa mendukung jurnalisme yang berkelanjutan,” kata Andy.
Melihat data dari survei WAN-IFRA sebuah organisasi media yang beroperasi secara global sebagai sebuah pusat kajian, sebagian besar media berita mendapatkan pendapatan mereka 50 persen masih dari media cetak, baik dari sirkulasi majalah atau dari print advertising. Untuk digital advertising hanya tercatat mendapati pemasukan sebesar 9,5 persen, sedangkan langganan digital sebenarnya sudah tercatat hampir 20 persen.
Tetapi dengan media digital, ada juga “pendapatan lain”. Pertama, yang terlihat paling dominan adalah pendapatan dari kegiatan atau event. Lalu juga ada grant funding dan partnership dengan platform. “Jadi media gak cuma jualan iklan dalam bentuk display Ads, tapi mereka juga menjadi event organizer,” ujar Andy.