Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kampanye Digelar di Kampus, Bermanfaat atau Jadi Petaka Bagi Akademik?

Ilustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)

Jakarta, IDN Times - Wacana soal kampanye politik boleh digelar di kampus berhembus seiring pernyataan Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari yang menuturkan bahwa kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus sepanjang sesuai ketentuan yang berlaku.

"Nah pertanyaannya apakah boleh dilakukan di mana saja? Untuk kampanye boleh di mana saja, termasuk dalam kamus dan pesantren, tapi ingat ada catatannya," kata Hasyim Asy'ari, Sabtu (23/7/2022).

Hasyim mengatakan, berdasarkan Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 280 Ayat 1 huruf H terkait larangan soal kampanye, yakni pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, ibadah, dan tempat pendidikan.

Penjelasan pasalnya menyebutkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan untuk kampanye jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

"Jadi kampanye di kampus itu boleh dengan catatan yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaganya," ujar dia.

Kemudian Hasyim menyorot terkait aturan setiap peserta pemilu harus diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama jika berkampanye di kampus. Kesempatan kampanye yang diberikan juga harus sama, baik soal jadwal, durasi, hingga frekuensi kampanye yang dilakukan peserta pemilu.

"Termasuk harus memperlakukan sama, kalau capres ada dua ya dua-duanya diberikan kesempatan. Kalau capresnya ada tiga ya diberi kesempatan semuanya. Kalau partainya ada 16, ya ke-16 partai diberikan kesempatan sama semua," kata Hasyim.

"Demikian pula durasi dan frekuensinya. Frekuensinya, misalnya sekali datang, durasinya dua jam, maka ya semuanya sama dua jam. Mau dipakai satu jam oleh peserta boleh, tapi kalau lebih dari dua jam itu yang tidak boleh," ucap Hasyim.

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan bahwa ke depan tidak menutup kemungkinan kampanye politik bisa diselenggarakan di kampus.

Sebagaimana yang dilakukan oleh perguruan tinggi di negara maju, kata dia, bisa jadi ke depannya kampus di Indonesia mengikuti metode kampanye di kalangan akademisi tersebut.

"Nanti kita lihat lagi prosesnya seperti apa, di kampus seperti apa, nanti ke depan apakah kita meniru negara maju. Jadi adu debat itu diadakan di kampus tapi karena ada faktor larangan (Pasal 280 ayat 1 UU Pemilu) itu, nah jadi persoalan," kata Bagja saat ditemui usia mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) bersama KPU RI di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2022).

Kendati demikian, Bagja menegaskan belum mengetahui kapan wacana kampanye di dalam kampus dapat terealisasi. Sebab, wacana tersebut bergantung pada revisi UU Pemilu.

"Ya tergantung pemerintah dan DPR dong. Kalau kemudian minggu depan tiba-tiba UU mungkin saja berubah kan, kita enggak pernah tahu kan," ujar Bagja.

Lantas apakah kampanye yang digelar di kampus bisa membawa manfaat atau justru menuai polarisasi di kalangan akademik?

1. Kampus harus punya kode etik yang mengatur kampanye politik

Ilustrasi kampus (IDN Times/Sukma Shakti)

Pengamat politik, Ray Rangkuti mendukung wacana diperbolehkannya kampanye politik pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan di kampus.

Dia mengatakan, sebenarnya aparatur dan fasilitas kampus menjadi bagian dari pelaksana kampanye masih dilarang oleh undang-undang yang berlaku saat ini.

Namun, kata Ray Rangkuti, peluang berkampanye di kampus bisa membawa dampak positif dalam sosialisasi dinamika politik kepada akademisi. 

"Kalau cuma sekadar peserta kampanye justru itu bagus sehingga dengan begitu distribusi sosialisasi terhadap para akademisi itu ya tersalurkan dengan baik," kata dia kepada IDN Times, Kamis (28/7/2022).

Menurut dia, apabila aturan kampanye tersebut diperbolehkan, pihak internal kampus harus memiliki peran aktif dalam menjaga prinsip netralitas. Artinya kampus tidak boleh tebang pilih dalam menentukan pihak mana yang akan berkampanye di kampus tersebut.

"Tinggal tentu saja di dalam internal kampus itu apakah bisa menerima perbedaan-perbedaan, kemudian bagaimana mengaturnya, sehingga tidak hanya terlihat menonjol pada satu kelompok tertentu saja," ujar Ray Rangkuti.

Dalam menentukan kebijakan, kata Ray Rangkuti, pihak kampus harus bisa berkoordinasi dengan lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Sehingga dibuat semacam kode etik atau etika berkampanye di ruang akademis perguruan tinggi.

Dia menilai, prinsip keadilan harus disepakati bersama oleh tiga komponen tersebut, sehingga keadilan dan etika positif berpolitik tercipta di kampus.

"Itu harus ada kerja sama antara pihak KPU, Bawaslu, dan otoritas kampus seluruh Indonesia untuk dibuat semacam kode etiknya," ucap dia.

Ray Rangkuti lantas menyorot terkait bagaimana cara mengatur sistem berkampanye di kampus. Dia menegaskan, aturan itu jadi hal yang wajib dibuat demi menjaga citra kampus sebagai ruang akademis.

Di sisi lain secara prinsip dia memaparkan, seluruh wilayah di Indonesia, kecuali rumah ibadah merupakan tempat orang untuk membagikan pikirannya. Sehingga sikap adil dan tanpa memihak perlu jadi pedoman kuat kampus.

"Tentu pihak segala kampus dengan segala ornamennya tidak boleh menjadi pelaksana kampanye atau tim penyelenggara kampanye dari calon yang bersangkutan," tutur dia.

"Bahwa mereka jadi panitia lokal ya tidak masalah namanya juga di kampus mereka, tapi kalau mereka jadi bagian dari tim pelaksana kampanye ya tentu tidak diperkenankan," lanjut Ray Rangkuti.

2. Kampanye di kampus jadi peluang akademisi beri penilaian terhadap parpol, KPU, dan Bawaslu

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara itu, akademisi Universitas Hasanuddin, Gustiana A Kambo menilai wacana soal kampanye politik di kampus jadi peluang bagi akademisi menilai kualitas peserta pemilihan umum (pemilu).

Sebagai contoh, ketika calon presiden maupun calon anggota DPR datang ke kampus, kemudian mereka menuangkan gagasan saat berkampanye. Tentu dalam hal ini akademisi kampus bisa memahami dan memilah mana tokoh yang berkualitas untuk dijadikan seorang pemimpin.

"Ketika dia (peserta pemilu) di ruang pendidikan atau kampus, hal-hal yang sifatnya kualitas dalam cara berpikir, bernarasi, itu bisa diukur oleh masyarakat di kalangan akademis," ujar Gustiana kepada IDN Times, Sabtu, 30 Juli 2022.

Menurut Gustiana, ketika kampanye diberikan ruang di kampus, maka kegiatan politik itu jadi peluang bagi akademisi sebagai salah satu kelompok masyarakat pemilih untuk memberikan penilaian. Selain itu, akademisi juga memberikan semacam kontrol sosial kepada sejumlah pihak, termasuk partai politik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Akhirnya kita bisa melihat sebenarnya, apakah calonnya nanti, parpol peserta pemilu, maupun penyelenggara pemilu itu nanti melaksanakan atau memegang proses pemilu dengan baik," kata dia.

Secara khusus Gustiana menyorot soal kebijakan kampanye di kampus apabila nantinya diperbolehkan. Penyampain gagasan politik ke kampus juga harus mengedepankan semangat demokrasi dan diskusi yang sehat, sehingga bisa melahirkan pemikiran baru dan menghindari polarisasi di kalangan akademisi.

"Yang penting tidak ada atribut, yang dihindari kan adanya perpecahan ketika masing-masing calon untuk menganggungkan dan memobilisasi massa di dalam kampanye yang sangat besar," ucap dia.

"Sebenarnya yang diinginkan itu kan kampanye yang soft, diskusi yang baik, diskusi yang sehat, kemudian saling melahirkan gagasan dan visi misinya, kemudian juga programnya," sambung Gustiana.

Kemudian doktor Ilmu Sosial lulusan Universitas Airlangga ini mengimbau agar pihak kampus membuat regulasi dengan KPU dan Bawaslu. Sehingga, kata dia, kampanye membawa manfaat yang positif bukan justru menunggangi kampus dengan kepentingan politik perpecahan.

"Jadi ada pola regulasi yang bisa dimainkan antara penyelenggara pemilu dengan kampus supaya tetap terjaga kampanye yang berkualitas. Kampus gak boleh jadi alat dan harus menjaga posisinya sebagai lembaga pendidikan dan tidak boleh terpengaruh," kata Gustiana.

Lebih lanjut Gustiana menjelaskan cara supaya perguruan tinggi tetap jadi lembaga pendidikan yang berintegritas. Nantinya kampus harus bersikap adil dalam menggelar kampanye politik.

"Kampus boleh mengundang, tapi tentunya harus adil. Jangan sampai misal ada dua calon tapi yang diundang hanya satu, termasuk juga parpol. Jadi semuanya harus distribusi dengan adil, peserta pemilu harus memiliki kesempatan sama," ucap dia.

3. Larangan kampanye di kampus dinilai rasional

Ilustrasi peraturan (Sumber: freepik)

Di sisi lain, pengamat politik sekaligus dosen Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menilai larangan kampanye politik jelang pemilihan umum (Pemilu) di kampus sebagai sesuatu yang wajar.

Sebab, Pasal 280 huruf h Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, melarang diadakannya kampanye politik di tempat pendidikan.

Menurut Dedi, pelarangan itu merupakan aturan yang rasional mengingat perguruan tinggi jadi salah satu lembaga pendidikan yang kredibilitasnya harus dijaga. Artinya, aturan yang berlaku saat ini bisa meminimalisir tercemarnya citra positif kampus dari kepentingan politik.

"Mengacu pada regulasi Pemilu saat ini, secara tegas melarang kampanye politik di kampus, hal ini cukup rasional untuk menjaga agar kampus tidak berpeluang tercemar kredibilitasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang terbebas dari kepentingan politik di pasca Pemilu," ujar Dedi kepada IDN Times, Kamis (28/7/2022).

Kendati demikian, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) ini mengatakan, aturan tersebut bukan tidak mungkin untuk direvisi. Dedi menilai, kampanye politik di kampus juga memiliki nilai postif, yakni terjadinya pertukaran gagasan dan ide politik.

"Tetapi, bukan tidak mungkin aturan itu diubah, di mana kampus justru menjadi medan pertempuran gagasan dan ide politik," kata dia.

Nantinya, kata Dedi, apabila peluang kampanye politik di kampus diperbolehkan, harus ada semacam kode etik atau aturan yang sifatnya mengawasi kegiatan politik tersebut.

"Dengan karakter manusia Indonesia saat ini, ketika peluang kampanye terbuka di kampus, harus ada tata tertib yang sangat ketat agar kampus tidak terpolarisasi," kata dia.

Dedi mencontohkan adanya aturan kampus yang hanya diperkenankan untuk ajang debat politik, pidato kebangsaan, hingga penyampaian visi misi. Dengan demikian, yang terjadi bukan ajang terbuka yang secara vulgar mengajak memilih sebagaimana yang saat ini terjadi di ruang publik saat kampanye.

"Artinya, politik praktis diizinkan masuk tetapi tidak dalam konteks kampanye, melainkan sebagai ruang diseminasi gagasan, bukan ajakan atau bahkan propaganda," kata dia.

Share
Topics
Editorial Team
Rendra Saputra
EditorRendra Saputra
Follow Us