“Yah, beginilah kondisi kami. Seperti yang kalian tahu dari pemberitaan banyak media, kami memang hidup seadanya,” Syarif memulai kisahnya. “Apa yang terjadi pada puteri dan cucu saya, tentu membuat saya terpukul. Di Karawang, memang baru kali ini ada kasus seperti ini, seorang ibu menganiaya anaknya hingga meninggal dunia.”
Sebelum anaknya membawa pergi Calista tanpa pamit pada 3 Januari, Syarif merasa keluarganya baik-baik saja. Tak ada pertengkaran apa pun yang membuat Sinta meninggalkan rumah bersama anaknya. Kendati hanya bekerja sebagai seorang satpam di sebuah pesantren dengan bayaran tak menentu, Syarif selalu berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya.
“Selama Sinta dan anaknya tinggal di sini, saya yang bertanggung jawab. Dia tak perlu khawatir tak bisa makan, rezeki sudah ada yang mengatur,” tutur laki-laki berusia 64 tahun tersebut.
Syarif juga tak menemukan tanda-tanda kekerasan pada cucunya. Selama tinggal di rumah, Syarif tak sekali pun melihat Sinta menganiaya anaknya. Sebagai orangtua tunggal, Sinta memang tak mampu menghidupi buah hatinya seorang diri.
Dia hanya sesekali menjadi buruh cuci, membantu kakak-kakaknya. Semua itu berjalan normal saja, hingga Sinta pergi dari rumah dan baru mengabari pada 5 Januari. Syarif menerima sebuah SMS dari Sinta. "Pak, Sinta dan Calista tinggal di rumah Emak," demikian isi SMS pada 5 Januari lalu.
Emak adalah sebutan Sinta terhadap bibinya yang mengangkatnya sebagai anak sejak bayi. Syarif pun tak menaruh curiga sama sekali.
“Soalnya Sinta memang biasa bolak-balik. Kadang tinggal di sini, kadang di rumah emaknya,” kata Syarif.
Hingga suatu hari, Emak datang ke rumah dan menanyakan keberadaan Sinta dan Calista. Syarif pun terkaget-kaget dan baru sadar dirinya dibohongi. Selang beberapa hari, dua orang laki-laki yang salah satunya pacar Sinta datang ke rumah membawa kabar duka: Calista masuk ruang PICU di RSUD Karawang.
Kondisinya koma setelah sebelumnya menerima perlakuan sadis dari sang ibu. Dugaan sementara, Sinta melampiaskan kekesalannya pada Calista lantaran terlibat konflik dengan sang pacar. Calista sempat kejang-kejang dan dilarikan ke puskesmas terdekat sebelum akhirnya dirujuk ke RSUD Karawang.
Di rumah sakit, untuk pertama kalinya Syarif bertemu dengan pacar Sinta. Namun, dia tak begitu menggubris karena terlalu shock melihat kondisi cucunya yang terbaring koma. Sinta pun tampak ketakutan setiap kali melihatnya. Rasa bersalah tergambar jelas pada wajahnya.
Untuk membiayai pengobatan cucunya, Syarif hanya mengandalkan fasilitas BPJS Kesehatan dari pemerintah. Nahas, dia menunggak pembayaran hingga setahun lamanya.
“Saya cari uang entah bagaimana caranya. Saya lunasin tunggakan selama setahun, baru BPJS itu bisa saya gunakan untuk membiayai cucu saya. Sisanya ada bantuan juga dari pemerintah kota,” ujar Syarif sembari tersenyum pahit. Matanya tampak berkaca-kaca.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bayi Calista pun meninggal setelah dua minggu lebih berjuang di ruang PICU. Seorang polisi sempat memperlihatkan kondisi bayi tersebut sebelum disemayamkan, namun Syarif tak sampai hati.
“Saya hanya melihat bekas gigitan di bagian payudara. Saya tak sanggup untuk melihat luka di bagian tubuh lainnya lagi,” tutur Syarif.
Dalam proses pemakaman, polisi mengizinkan Sinta turut mengantarkan anaknya untuk yang terakhir kali. Ibu muda itu pun pingsan berkali-kali, seolah tak percaya si bayi meninggal akibat perbuatannya sendiri.