Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANJING PELACAK. Polisi menurunkan anjing pelacak di lokasi kejadian ledakan di GPPS Arjuno Surabaya. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Oleh Sakinah Ummu Haniy, Dhion Gumilang, Amir Tedjo dan Yetta Tondang

JAKARTA, Indonesia — Minggu, 13 Mei menjadi hari berduka untuk seluruh masyarakat Indonesia. Surabaya menjadi target serangkaian serangan teroris, yang meledakkan tiga gereja dalam jangka waktu hampir bersamaan.

Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro Surabaya, dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno menjadi korban dari serangan teror yang diduga dilakukan dengan bom bunuh diri.

Hingga berita ini diturunkan, setidaknya tercatat 11 korban jiwa yang tewas akibat peristiwa ini. Sementara ada puluhan lainnya yang mengalami luka-luka dan ratusan jemaat yang terpaksa menghentikan aktivitas kebaktian pada Minggu pagi tadi.

Berikut beberapa kisah yang ditulis ulang oleh Rappler berdasarkan cerita yang dipaparkan para korban yang selamat dari serangan bom gereja di Surabaya.

Natalia Tri Astuti, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro

Pagi itu saya dan anak saya pergi ke gereja untuk ikut ibadah jam 08:00 dan 10:00 WIB. Kebetulan saya bertugas melayani di paduan suara. Sebelum kebaktian pukul 08:00 dimulai, saya harus latihan paduan suara di lantai 1 gedung gereja. Sementara anak saya bersekolah minggu di lantai tiga, jadi saya antar anak dulu, saya titip anak ke kakak sekolah minggunya, karena sudah biasa juga.

Pas sekitar dua menit tiga menit itu, meledaklah bom pertama. Waktu itu kakak sekolah minggu anak saya juga berpikir mungkin ini dari suara petasan, pertanda awal puasa. Karena saat itu posisi kami di lantai 3. Enggak curiga sama sekali.

Selang dua menit kemudian, meledaklah bom kedua. Kami masih berpikir itu ledakan petasan dan masih main dengan anak. Setelah lima menitan, akhirnya bom ketiganya yang agak kencang meledak. Setelah itu jemaat gereja dan anak-anak kecil semua lari ke lantai tiga dan teriak-teriak.

Waktu itu saya dikabari kalau sudah ada korban meninggal yang tergeletak. Akhirnya saya mikir saya enggak mungkin pisah dari anak saya. Akhirnya kami semua berkumpul di lantai tiga. Semua pada mencari anak-anaknya masing-masing. Suasananya ramai dan kacau balau. Waktu itu saya tahu bahwa ledakan itu adalah bom bunuh diri. Dan barulah kami tahu bahwa gereja saya adalah lokasi kedua ledakan.

Semua jemaat pada nangis-nangis semua. Setelah ledakan ketiga ada majelis jemaat yang tadinya berpikir untuk tetap menjalankan ibadah. Tapi kan enggak mungkin melaksanakan ibadah dalam kondisi semua syok dan trauma gemetaran. Akhirnya setelah berkoordinasi dengan polisi juga, sekitar 10 menit setelah ledakan ketiga, gereja disterilkan. Semua dievakuasi ke toko kue dekat gereja. Ya, melewati mayat-mayat yang ada di parkiran.

Saya bersyukurnya, saya datang sekitar setengah jam sebelum kebaktian jam 08:00 dimulai. Kalau tidak ada paduan suara, biasanya saya mengantar anak untuk sekolah minggu sekitar jam delapan kurang. Kalau misalnya saya datang jam itu, pas posisi masih ada di parkiran, masih harus turun dari mobil dan melewati parkiran.

Saya sama anak saya berangkat naik taksi online. Sempat pusing juga bagaimana cara pulang, karena area di seputaran Diponegoro juga ditutup. Akhirnya saya mikir, siapapun teman yang naik mobil, saya mau numpang. Waktu melewati garis polisi juga saya minta dikawal polisi karena masih banyak orang di situ. Saya enggak tahu mana yang baik, mana yang jahat, saya masih takut.

Ketakutan itu tetap terasa. Namanya enggak menduga-menduga bakalan seperti itu. Selama ini kan Jawa Timur terkenal aman dan Diponegoro juga di pusat kota Surabaya. Dirasa aneh kalau tiba-tiba ada kejadian. Tapi imbauan dari pendeta agar kami tidak menanggapi secara berlebihan dan tidak membalas perbuatan mereka. 

Untungnya ciri-ciri pelaku masih bisa dikenali dengan mudah karena mereka bercadar dan mencurigakan. Enggak kebayang kalau mereka terlihat biasa dan melebur dengan jemaat masuk ke dalam gereja, pasti akan lebih banyak korban, karena kita enggak tahu kan siapa yang menyamar. Waktu saya dievakuasi ke toko kue juga disarankan agar tidak bergerombol karena kami tidak tahu siapa saja bisa menyamar.

Akhirnya setelah dievakuasi itu, untungnya juga ada teman saya yang bisa menjemput, meski lokasi penjemputannya sekitar 2 kilometer. Saya berjalan kaki sama anak saya, panas-panasan, bagaimana caranya supaya menjauh dulu dari gereja, karena suasanya masih mencekam kalau masih di seputaran gereja. Akhirnya sekitar jam 16:00 WIB saya sampai di rumah untuk menenangkan diri. Apalagi saya cuma berdua dengan anak saya, karena suami sedang sekolah S2 di Thailand.

Suami saya sempat panik juga, karena enggak bisa ngapa-ngapain. Tadinya mau langsung balik ke Indonesia tapi saya berusaha menenangkan dia. Karena di sini sudah tenang, yang penting doanya. Anak saya yang masih berusia 13 bulan waktu saya bawa lari-lari saat evakuasi untungnya tidak rewel. Bahkan dia sempat cengengesan melihat saya. Waktu itu saya tutupi kepala dan wajahnya saat kami melewati lokasi ledakan menuju tempat evakuasi. Untunglah dia belum mengerti.

Sekarang ini, kalau saya sih tetap melihat situasi dan kondisi. Update dari majelis gereja juga pasti ada. Kabarnya lokasi juga masih disisir polisi dan belum dibersihkan. Jadi saya tetap waspada sambil menanti perkembangan yang ada.

Prambudi, driver di salah satu perusahaan farmasi, korban selamat dari ledakan bom di GPPS Arjuno

Editorial Team

Tonton lebih seru di