“Ketika tragedi Mei 1998 terjadi, saya baru duduk di kelas 1 sekolah dasar. Saat itu, papa sedang dinas di luar pulau Jawa. Adapun saya, mama, adik, dan seorang asisten rumah tangga tinggal di daerah Banjarsari.
Saat itu, mama sedang hamil 6 bulan, adik saya yang terakhir. Ketika kerusuhan terjadi, saya berada di rumah eyang, karena memang sehari-hari tiap pulang sekolah saya dan sepupu akan tinggal di rumah eyang di daerah Gajahan, Solo. Biasanya aku menghabiskan waktu di sana untuk untuk tidur siang, bermain, dan mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR).
Lalu pada malam harinya akan pulang ke rumah masing-masing. Namun waktu itu kakek berkata bahwa kami tidak bisa pulang dan harus menginap. Lagipula, besok sekolah diliburkan karena ada demo besar-besaran di Jalan Slamet Riyadi.
Situasi di jalanan ricuh sehingga tidak bisa dilewati untuk mengantarkan saya pulang. Bahkan, saat itu terjadi pemadaman listrik di hampir seluruh Solo. Saya dan sepupu yang sedang mengerjakan PR menggunakan penerangan lilin pun mengiyakan untuk menginap.
Namun, tak berapa lama, kakek terlihat terburu-buru mengendarai sepeda motor ke rumah saya setelah mendapat telepon dari mama. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Dalam hati saya bertanya, "Kenapa saya tidak diantarkan pulang jika toh kakek tetap pergi ke rumah saya? "
Meski menginap, namun kami tidak tidur. Saya, sepupu, tante, dan nenek pergi ke rumah tetangga yang letaknya ada di luar gang (rumah eyang terletak di dalam kampung). Di sana kami berkumpul bersama warga, melihat kobaran api besar yang menelan habis daerah pertokoan dan perkantoran.
Di tengah kegelapan malam yang pekat, kami bisa dengan jelas melihat lidah api jingga yang menjilat-jilat. Suasana tegang mencekam, kami berdiam cukup lama hingga api memadam dan kondisi cukup tenang untuk pulang. Akhirnya kami baru bisa terlelap setelah langit mulai terang.
Tak berapa lama, mama yang sedang hamil besar dibonceng kakek datang menjemput saya. Kami berboncengan bertiga, di sepanjang jalan terlihat banyak sisa kebakaran semalam. Sisa ban bekas yang ditumpuk dan hangus teronggok di beberapa titik jalanan. Hotel, bank, bioskop, pusat perbelanjaan ludes terbakar, hanya tersisa kayu-kayu gosong dan puing-puing di sekitarnya. Solo seperti kota mati apalagi di Jalan Slamet Riyadi, sepi, sunyi, tak banyak orang yang berlalu lalang.
Tulisan 'PRO REFORMASI' tersebar di beberapa bangunan yang masih berdiri tegak maupun di gedung yang hampir roboh karena terbakar. Mama bercerita bahwa semalam di daerah rumah juga terjadi hal yang tak jauh beda dengan daerah rumah eyang. Semalam Mama di rumah hanya bersama adik saya yang masih berusia 4 tahun dan seorang asisten rumah tangga tentu ketakutan, apalagi ada segerombolan orang yang meninjau setiap rumah dan mencari rumah keturunan Tionghoa untuk dibakar.
Beberapa orang bahkan mengira mama adalah keturunan Tionghoa karena kulitnya yang putih. Untungnya, para tetangga kompak dan melindungi rumah kami. Karena itulah mama menelepon kakek supaya menginap tanpa membawa saya, mengingat letak rumah eyang dianggap lebih aman karena ada di perkampungan.
Tiba di rumah, masih terlihat dengan jelas sisa bedak putih yang ditorehkan oleh eyang dan mama di kaca rumah semalam. Saya yang saat itu sudah lancar membaca ingat betul huruf-huruf besar yang disusun asal-asalan berbunyi "WONG JOWO ASLI. PRO REFORMASI". Ada rasa senang yang tiba-tiba datang, bukan karena libur dan tidak sekolah tapi senang karena saya masih bisa pulang ke rumah."