Kekerasan PRT Mengintai Selama RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan

Jakarta, IDN Times - Dua puluh tahun sudah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diperjuangkan organisasi masyarakat sipil di DPR RI. Akhirnya, RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Pemerintah sudah mengirimkan surpres pada April dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) pada Mei 2023.
Artinya, RUU PPRT tinggal selangkah lagi melalui proses, tetapi tak kunjung ada hilal pengesahan bahkan pembahasan meski sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, dialog, revisi, dan pembahasan.
“Kami menyesalkan, merasa prihatin atas proses RUU PPRT yang mendesak untuk disahkan, namun DPR terus menunda dan menunda terus, memposisikan 5 juta lebih PRT yang mayoritas perempuan, warga miskin dan penopang perekonomian nasional sebagai warga yang terus menerus ditinggalkan, dipinggirkan dan seolah-olah dianggap wajar mengalami kekerasan dan perbudakan modern,” kata Ajeng Astuti dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dalam jumpa pers Barisan Perempuan untuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga via Zoom, Minggu (25/2/2024).
1. Kekerasan terhadap PRT terus mengintai
Ajeng menjelaskan, jika DPR terus membiarkan kondisi ini, maka DPR membiarkan PRT dalam perbudakan dan pekerja yang dianggap tidak berhak mendapatkan kemerdekaan dalam bekerja. Sebab, kekerasan terhadap PRT terus mengintai di balik pintu, tembok, dan pagar rumah.
“Bahwa satu hari penundaaan pengesahan RUU PPRT sama dengan membiarkan puluhan PRT korban berjatuhan dan hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan,” kata dia.
Data JALA PRT menggambarkan, korban PRT tidak bisa menyampaikan situasi kekerasan karena akses komunikasi yang ditutup hingga mulai meningkatnya intensitas kekerasan dan berujung pada situasi korban yang fatal.
“Apakah hal ini tidak dianggap krisis? Apakah satu korban tidak penting bagi DPR? Sementara prinsip kemanusiaan adalah tanpa kekerasan. Apakah karena PRT maka kasus kekerasan dianggap wajar?” ujarnya.