Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-12 at 12.54.32.jpeg
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Pribudiarta Nur Sitepu (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya sih...

  • Langkah inisiatif pemerintah Kabupaten Cirebon dan Sigi

  • Data BPS 2025 mencatat angka perkawinan anak menurun, tapi 4 provinsi meningkat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, mengatakan, upaya pencegahan perkawinan anak oleh pemerintah daerah penting didokumentasikan untuk menjadi bahan advokasi dan pembelajaran antarwilayah untuk memperkuat langkah pencegahan.

Dalam kegiatan Diseminasi Pendokumentasian Praktik Baik Komunikasi Perubahan Perilaku Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Pencegahan Perkawinan Anak pada Rabu (26/11/2025), Pribudiarta mengatakan, Kemen PPPA telah menghimpun sejumlah inisiatif daerah dalam pencegahan perkawinan anak sepanjang tahun 2025, khususnya dari enam wilayah yaitu Palu, Jakarta Utara, Garut, Cirebon, Sigi, dan Lombok Timur.

Dokumentasi ini menjadi jembatan yang mempertemukan pengetahuan, pengalaman, dan komitmen lintas wilayah. Banyak program dan praktik baik pemerintah daerah yang dibangun untuk upaya pencegahan perkawinan anak, sebagai contoh Program STOP KABUR (Strategi Optimalisasi Pencegahan Kawin di Bawah Umur) di Kabupaten Garut,” kata Pribudiarta dikutip dari siaran pers, Kamis (27/11/2025). 

1. Langkah inisiatif pemerintah Kabupaten Cirebon dan Sigi

Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu dalam Media Talk Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Perlindungannya di Jakarta, Rabu (8/10/2025). (IDN Times/Rachel Kathryn).

Pribudiarta juga menyoroti langkah Pemerintah Kabupaten Cirebon yang menggandeng perguruan tinggi dan puskesmas untuk mencegah perkawinan anak. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Sigi bermitra dengan Badan Riset dan Inovasi Daerah Sulawesi Tengah guna memberikan edukasi terkait pencegahan stunting dan perkawinan anak.

“Melalui praktik baik dan pendokumentasian tersebut, kami berharap ada perubahan yang dilakukan pemerintah daerah wilayah lain, seperti adanya regulasi di tingkat desa, kemitraan strategi dengan pemangku kepentingan, serta langkah-langkah lainnya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran anak untuk menolak perkawinan anak,” kata Pribudiarta.

2. Angka perkawinan anak menurun, tapi 4 provinsi meningkat

Murid-murid SMPN 1 Cibeber pada pembukaan acara "#BerpihakPadaAnak: Stop Perkawinan Anak dan Kekerasan pada Anak" di SMPN 1 Cibeber, Cianjur. (23/9/2022). (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Data BPS 2025 mencatat angka perkawinan anak turun dari 6,92 persen pada tahun 2023 menjadi 5,90 persen pada tahun 2024. Namun empat provinsi mengalami kenaikan, yaitu Jambi, Riau, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Dia mengatakan, keberhasilan menekan perkawinan anak akan berdampak pada turunnya risiko putus sekolah; menurunnya angka kematian ibu dan bayi, serta pencegahan KDRT

“Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan mengatur usia minimal pernikahan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Data Peradilan Agama (Badilag) mencatat 50.673 dispensasi perkawinan yang diputus pada 2022. Jika upaya pemerintah, pemangku kepentingan, masyarakat, hingga keluarga dapat menekan angka perkawinan anak, maka risiko anak putus sekolah, angka kematian ibu dan bayi, serta risiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga dapat menurun,” ujar dia.

3. Ketahanan keluarga jadi kunci, kolaborasi lintas sektor diperkuat

ilustrasi perkawinan anak (IDN Times/Aditya Pratama)

Asisten Deputi Ketahanan Keluarga dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Mustikorini Indrijatiningrum, mengatakan, penguatan ketahanan keluarga dan kemandirian ekonomi keluarga dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.

“Keluarga yang terpenuhi kebutuhan dasarnya serta memiliki kesempatan untuk berdaya dan berpartisipasi akan membentuk masyarakat yang lebih berkualitas dan produktif. Pada akhirnya, hal ini akan mendukung pembangunan dan memperkuat ketahanan nasional,” ujar Rini. 

Sementara itu, Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan, Nanda Dwinta Sari, menyampaikan dukungannya terhadap upaya kolaborasi dan penguatan program, termasuk pendokumentasian praktik-praktik baik pencegahan perkawinan anak.

“Kami berharap praktik baik ini dapat didiseminasikan kepada masyarakat, pemangku kepentingan, dan pemerintah. Dokumen ini bersifat milik bersama, sehingga dapat menjadi acuan untuk menyebarkan pengalaman perempuan dan anak dalam berpartisipasi sebagai upaya pencegahan perkawinan anak,” ucap Nanda. 

Editorial Team