Menteri Agama Nasaruddin Umar (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Menurut Menag, ada lima transformasi utama yang menjadi fokus masa depan pendidikan Islam. Pertama, mengubah teologi maskulin yang kaku menjadi teologi yang lebih merawat dan penuh kasih sayang.
Kedua, menggeser fokus dari sekadar aturan hukum formal (nomos-oriented) ke arah nilai dan substansi (eros-oriented). Menag khawatir cara beragama yang terlalu formal membuat orang kehilangan empati sosial.
Ketiga, mengubah sudut pandang antroposentrisme menjadi ekoteologi. Artinya, manusia harus sadar mereka hidup berdampingan dengan alam, bukan sekadar mengeksploitasi lingkungan.
Keempat, mengubah pola pikir terfragmentasi (atomistik) menjadi menyeluruh (holistik). Tujuannya agar siswa bisa melihat hubungan antar realitas secara luas dan tidak terjebak pada satu sisi saja.
Kelima, beralih dari religiousness menuju religious mindedness. Agama diposisikan sebagai kompas moral yang memacu kreativitas, bukan pembatas yang kaku.
Menag menjelaskan kurikulum berbasis cinta ini mengutamakan empati, keadilan, hingga sikap pemaaf dalam proses belajar.
“Pendidikan tanpa cinta kehilangan ruhnya. Agama seharusnya membebaskan manusia untuk berkreasi dan berkontribusi bagi peradaban,” Nasaruddin.
Nasaruddin juga mencontohkan sistem pendidikan di sejumlah negara maju seperti Finlandia. Di sana, guru, murid, dan orang tua memiliki hubungan yang setara. Model ini dianggap cocok untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Tanah Air.
Kemenag juga ingin berkontribusi menyusun konsep pendidikan Pancasila yang berlandaskan nilai ketuhanan. Menag tidak setuju ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, berkaca pada masa kejayaan Baitul Hikmah.
"Kurikulum cinta adalah proses berkelanjutan untuk melahirkan insan kamil yang beriman, berilmu, dan berkeadaban,” ucap dia.