Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)
Akibat peristiwa ini, Kemenhut memberlakukan moratorium (penghentian sementara) layanan tata usaha kayu tumbuh alami di Areal Penggunaan Lain (APL) untuk Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT).
Kebijakan ini merupakan respons atas terungkapnya modus pencucian kayu ilegal, sekaligus menanggapi indikasi bahwa kayu gelondongan yang terbawa banjir di Sumatra berasal dari aktivitas illegal logging atau penebangan liar.
Kebijakan moratorium yang tertuang dalam sistem Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPuHH) ini disertai dengan evaluasi menyeluruh dan pengawasan ketat terhadap seluruh pemanfaatan kayu di areal PHAT.
Langkah ini diambil setelah Dirjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Dwi Januanto Nugroho mengidentifikasi sejumlah pola kejahatan terstruktur yang menyalahgunakan skema PHAT untuk melegalkan kayu ilegal.
“Kejahatan kehutanan tidak lagi bekerja secara sederhana. Kayu dari kawasan hutan bisa diseret masuk ke skema legal dengan memanfaatkan dokumen PHAT yang dipalsukan, digandakan, atau dipinjam namanya," kata Dwi dikutip dalam keterangan pers, Minggu (30/11/2025).
Kemenhut pun mengungkap tiga modus pencurian kayu ilegal melalui PHAT. Pertama, pemalsuan dokumen kepemilikan lahan dan Laporan Hasil Produksi (LHP) fiktif. Kayu dari kawasan hutan negara "dititipkan" seolah-olah berasal dari areal PHAT yang sah, dengan volume kayu dalam LHP sengaja digelembungkan.
Kedua, pelaku melakukan perluasan batas peta PHAT hingga masuk ke kawasan hutan negara untuk penebangan ilegal. PHAT milik masyarakat juga sering dijadikan "nama pinjam" oleh pemodal untuk melegalkan penebangan kayu skala besar.
Ketiga, pengiriman kayu melebihi volume yang tercantum dalam LHP dengan menggunakan dokumen yang sama berulang kali. Kayu yang ditebang secara ilegal dari kawasan hutan juga diregistrasi ulang sebagai kayu PHAT setelah dipindahkan ke lahan milik.