Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Ikan Lele, Cebong, Kampret Dipakai dalam Istilah Politik?

Ilustrasi bendera partai politik (ANTARA FOTO/Ampelsa)
Ilustrasi bendera partai politik (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah hewan kerap masuk dalam istilah politik di Indonesia. Terbaru ada 'politisi ikan lele'.

Istilah itu disampaikan pertama kali oleh Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. Dia menjelaskan, istilah politisi ikan lele digunakan untuk menyindir pihak yang kerap membuat situasi semakin keruh. 

“Saya menyebut politisi ini tidak selalu mereka yang menjadi pengurus partai politik, tetapi orang yang pikirannya selalu mengaitkan berbagai keadaan itu dengan politik, berbagai persoalan dipolitisasi,” ujar Abdul Mu'ti, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Jumat (6/8/2021).

1. Ada cebong dan kampret

Jokowi dan Prabowo (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jokowi dan Prabowo (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Sedikit kilas balik ke masa Pilpres 2019, ada juga istilah cebong dan kampret. Cebong ditujukan untuk para pendukung Joko Widodo, sedangkan kampret disematkan kepada pendukung Prabowo Subianto.

Para pendukung kedua capres kala itu saling menyindir satu sama lain terkait istilah tersebut, terutama di media sosial.

Sekadar informasi, cebong atau kecebong alias berudu ini merupakan larva yang nantinya akan menjadi kodok. Sementara itu, kampret merupakan kelelawar kecil pemangsa serangga.

2. Lalu, kenapa nama hewan kerap dijadikan istilah politik?

Ilustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)
Ilustrasi kampanye (IDN Times/Galih Persiana)

Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menjelaskan, dalam kebiasaan yang terjadi, hewan sering kali digunakan untuk menyerang pihak lain. Baik itu meledek, menghujat, hingga bertujuan untuk memecah belah.

"Jadi budaya politik kita ini terbiasa menggunakan hewan sebagai alat dan instrumen untuk melakukan perang politik," kata Adi.

Selain itu, tambah dia, kebiasaan di masyarakat juga ketika marah kerap kali menyebut nama hewan. "Dulu kalau orang marah kan kebun binatang keluar semua," ucapnya.

3. Hewan dianggap duplikasi wajah manusia

Ilustrasi kampanye (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Ilustrasi kampanye (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Lebih lanjut, Adi menyebut hewan sebagai duplikasi "wajah" manusia. Sebab, ada manusia yang memiliki sifat buas, jinak dan liar.

"Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang jinak, ada yang liar, ada yang bikin keruh. Bedanya hewan gak bisa bicara pakai bahasa manusia saja, selebihnya mereka karakteristiknya sama dengan manusia," tutup Adi. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Ilman Nafian
EditorMuhammad Ilman Nafian
Follow Us