Ketika Ideologi Radikalisme dan Terorisme Menjangkau Kaum Perempuan

JAKARTA, Indonesia — Serangkaian insiden ledakan bom yang terjadi di Surabaya sejak Minggu, 13 Mei lalu memang membuat mata dan pikiran terbelalak. Bukan cuma soal bagaimana insiden itu terjadi dan merenggut banyak nyawa tak bersalah, tapi juga karena fakta bahwa kebanyakan insiden melibatkan keluarga sebagai pelakunya.
Yang tadinya aksi terorisme kebanyakan melibatkan pria-pria muda sebagai pelaku bom bunuh diri, kini semperti ada pergeseran tren. Satu keluarga terlibat sebagai pelaku pengeboman. Fenomena yang mungkin baru pertama kali terjadi di dunia.
Psikolog sosial yang juga berprofesi sebagai dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang kerap mendalami soal terorisme dan radikalisme, Mirra Noor Milla, mencoba berbagi perspektif soal fenomena ini. Perempuan kelahiran 24 April 1973 ini sebelumnya pernah menerbitkan buku berjudul Mengapa Memilih Jalan Teror: Analisis Psikologis Pelaku Teror.
Apa yang membuat keluarga-keluarga bisa disisipi paham radikalisme dan terorisme? Bagaimana nasih anak-anak dari keluarga yang radikal? Apa yang seharusnya dilakukan untuk menghentikan tindak radikalisme dan terorisme?
Kepada Rappler, Mirra menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ketika ditemui di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Selasa, 15 Mei 2018.
Sebenarnya bagaimana paham atau ideologi radikalisme dan terorisme itu bisa mencapai kaum perempuan?
Sebelumnya, jangan salah kaprah, karena ideologi radikalisme dengan terorisme itu beda. Awalnya, di era Al Qaeda, ideologi terorisme itu dimulai. Dan waktu itu didominasi oleh kelompok laki-laki dengan usia muda sampai 40-an yang banyak terlibat aktif di sel-sel aktif terorisme.
Di era itu, ada pembagian yang tegas antara peran laki-laki dan perempuan dalam teror. Kita dulu masih familiar dengan kejadian kalau ada suaminya ditangkap, istrinya enggak tahu apa-apa. Bapak ibu pelaku enggak tahu, anaknya enggak tahu.
Saya sempat juga bertemu juga dengan beberapa istri yang suaminya ditangkap tapi dia tidak tahu apa-apa, itu berat banget karena tidak siap tapi tiba-tiba suaminya ditangkap karena terorisme dan dia yang harus menghadapi masyarakat. Itu yang terjadi di awal.
Sejalan dengan banyaknya napi teroris di lapas, kemudian permepuan juga jadi keluar masuk lapas-lapas, akhirnya jadi terbuka. Yang tadinya antar anggota jaringan tertutup, setelah ditangkap, jadi terbuka siapa-siapa yang terlibat. Kemudian keluarga dan istri membesuk, terjadi interaksi secara natural di antara mereka.
Yang istri-istri yang tadinya tidak tahu jadi tahu. Karena suami banyak di antara mereka yang meski sudah ditangkap pun masih terlibat dalam jaringan, maka untuk keperluan-keperluan aktivitasnya dia, istri-istrinya jadi kurir. Akhirnya dia teradikalisasi melalui suaminya. Ini satu jalan kenapa perempuan bisa terlibat.