Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Aparat penegak hukum harus diperlakukan sama di mata hukum

  • Dua hakim memiliki pendapat berbeda

  • Kejaksaan Agung tetap nilai harus ada izin dari Jaksa Agung bila ingin periksa jaksa

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 16 Oktober 2025, mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 11 Tahun 2021 mengenai Kejaksaan Republik Indonesia (RI). Dalam putusannya, hakim konstitusi membolehkan jaksa yang tertangkap tangan dapat diperiksa tanpa perlu izin lebih dulu dari Jaksa Agung. Dengan adanya putusan tersebut, menghapus keistimewaan hukum yang selama ini membuat jaksa berada di posisi berbeda dari penegak hukum lainnya.

Keputusan itu dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, di dalam putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025. Permohonan uji materiil itu diajukan oleh Agus Setiawan, Sulaiman dan Perhimpunan Pemuda Madani. Mereka menyoal Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan.

"Menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai 'secara bersyarat memuat pengecualian dalam hal tertangkap tangan, melakukan tindak pidana atas atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara atau tindak pidana khusus.' Sehingga, pasal a quo selengkapnya berbunyi 'dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam dua hal," demikian putusan tersebut dibacakan oleh Suhartoyo, dikutip dari risalah persidangan pada Sabtu (18/10/2025).

Artinya, jaksa tetap dapat diproses secara hukum tanpa perlu izin dari Jaksa Agung untuk dua situasi. Pertama, tertangkap tangan melakukan tindak pidana, dan kedua, berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara atau tindak pidana khusus.

Apa pertimbangan hakim konstitusi mengabulkan sebagian uji materiil UU Kejaksaan tersebut?

1. Aparat penegak hukum harus diperlakukan sama di mata hukum

Hakim konstitusi, Arsul Sani ketika hadir di sidang Mahkamah Konstitusi (Tangkapan layar YouTube Mahkamah Konstitusi)

Di dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan, aparat penegak hukum (APH) dan penyelenggara negara harus tetap dianggap sama di mata hukum atau sesuai prinsip equality before the law.

"Dalam prinsip equality before the law, persamaan kedudukan di hadapan hukum sesungguhnya mengharuskan tidak dapat dibeda-bedakan antara warga negara yang menjadi subyek hukum dalam proses penegakan hukum, dengan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara yang melaksanakan tugas yang ada kaitannya dengan kekuasaan kehakiman," kata Arsul.

Mantan anggota Komisi III DPR itu juga menyebut, bila aparat penegak hukum (APH) tidak diberikan pengecualian dalam perlindungan hukum maka dikhawatirkan dapat menghambat proses penegakan hukum. "Dapat juga memperlemah prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip fundamental dalam penegakan hukum secara universal dan prinsip negara hukum," tutur dia.

Ia juga menggarisbawahi perlindungan hukum kepada APH hanya dapat diberikan dalam batas yang wajar, dan untuk menjaga independensi penegak hukum dari tekanan.

2. Dua hakim memiliki pendapat berbeda

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Kosntitusi Daniel Yusmic (kiri) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin jalannya sidang perdana perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024). (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Dalam putusan tersebut, dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah, menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka menilai, izin dari Jaksa Agung bukan bentuk kekebalan, melainkan mekanisme perlindungan agar proses hukum terhadap jaksa tetap profesional dan akuntabel.

Putusan MK ini menegaskan kembali prinsip dasar negara hukum, yakni tidak ada penegak hukum yang kebal terhadap hukum itu sendiri.

3. Kejaksaan Agung tetap nilai harus ada izin dari Jaksa Agung bila ingin periksa jaksa

Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung. (Dokumentasi Sekretariat Kabinet)

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Anang Supriatna mengatakan, putusan MK tersebut akan mendorong jaksa bekerja secara profesional dan berintegritas. "Bagus buat kami semua," ujar Anang di kantor Kejaksaan Agung pada Jumat kemarin.

Anang menegaskan, jaksa tidak kebal hukum. Namun, aparat hukum tetap memerlukan izin jaksa agung jika ingin memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, hingga menahan jaksa nakal meski sudah ada putusan MK.

"Kan (putusan MK) hanya berlaku untuk kasus yang menyangkut tindak pidana khusus, lalu ancaman hukumannya mati, dan menyangkut keamanan negara," tutur dia.

Editorial Team