Ketika Storytelling Jadi Senjata Media Menghadapi Dominasi AI

- Secara fundamental, pekerjaan jurnalis tidak berubah banyak meskipun ada AI. Tapi jusrnalis harus kreatif di era AI.
- Manfaatkan AI sebagai asisten di ruang redaksi, kendali newsroom tetap ada di tangan manusianya, jurnalis.
- ChatGPT bisa saja menghasilkan data yang salah, berhalusinasi, karena itu verifikasi dan cek fakta yang dihasilkan harus dilakukan.
Jakarta, IDN Times – Dominasi Artificial Intelligence (AI) terjadi di mana-mana, termasuk media massa. Praktisi media di Asia Pasific yakin, secanggih-canggihnya AI, perangkat dan aplikasi ini tidak akan pernah menggantikan peran jurnalis. Tapi memang membutuhkan kreativitas tingkat tinggi di dalam ruang redaksi untuk menghadapi AI, terutama AI generatif, seperti ChatGPT. Salah satunya membuat konten strorytelling.
Jaemark Tordecilla, penasihat media independen dari Filipina, menuturkan pernah mengalami penurunan trafik yang drastis saat ia masih menjadi pemimpin redaksi di media online GMA News. Kondisi itu terjadi saat Facebook mulai meninggalkan konten berita.
“Saat itu setengah trafik, khususnya dari Facebook, turun. Jadi kami harus merancang strategi baru,” kata Jaemark di Konferensi CTRL + J APAC di Jakarta, Selasa 22 Juli 2025. Jaemark menjadi salah satu pembicara dalam panel bertema Envisioning the Future of News Content and Storytelling in the Era of AI.
Tahun 2018, GMA News mulai memproduksi konten-konten yang lebih relevan untuk menjangkau audiensnya dan mudah diakses dengan berbagai macam perangkat. “Termasuk (konten) storytelling,” kata Jaemark.
GMA News saat itu bahkan merangkul influencer. Konten yang dihasilkan kebanyakan dalam bentuk video. Ini menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di Filipina yang lebih senang mendapatkan informasi seputar berita dari tontonan ketimbang membaca. “Dan, selalu viral,” ujar Jaemark.
GMA News meramu informasi ‘berat’ seperti artikel-artikel politik menjelang pemilu Filipina di tahun 2019 menjadi lebih menyenangkan dan mudah dipahami. Tema pelecehan seksual juga dikemas dengan cara yang mudah dimengerti. Tidak hanya influencer, media ini juga menggaet artis untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan audiens.
“Video kami ditonton jutaan orang dan ada ribuan engagement. Banyak yang bertanya, apakah ini produk jurnalis? Jawaban saya, saya tidak peduli!” katanya.
Meski mengusung konsep storytelling, Jaemark menegaskan, medianya masih menganut pola media tradisional. Tetapi GMA News berusaha melihat apa yang dibutuhkan pembaca atau audiensnya dan user friendly dengan gawai-gawai yang mereka miliki.
“Konsep ini sangat bermanfaat. Filipina negara terbesar nonton berita, bukan baca. Ini mengonfirmasi atas efektifnya strategi kami. Mereka suka dengan platform seperti ini,” tutur Jaemark.
1. Kita enggak kalah, tapi jurnalis harus kreatif di era AI

Bagaimana saat ini? Apa yang dibutuhkan audiens saat era ChatGPT masuk ruang publik, termasuk media, terutama di Filipina , di mana pengguna ChatGPT ada di posisi kelima di dunia, setingkat di bawah Indonesia?
Jaemark yang merupakan lulusan computer science, bercerita, tahun 2023 terjadi lonjakan luar biasa penggunaan ChatGPT di negaranya. Dia yang penasaran lalu menelusuri penyebab lonjakan tersebut. “Ternyata karena ada tahun ajaran baru, ada pembukaan kelas baru. Dari situ kita jadi tahu siapa yang menggunakan, bahwa dampak teknologi sudah sampai ke next generation. Mereka sudah terbiasa bertanya ke chatbot,” ujarnya.
Jaemark lalu menunjukkan data bahwa orang yang mencari informasi melalui chatbot di Filipina pada 2025 sama banyaknya dengan orang mencari informasi di surat kabar. “Pertanyaannya, bagaimana kita menampilkan berita di zaman AI,” ujarnya.
Dia menambahkan, AI sebetulnya bisa membantu media memperkenalkan kontennya kepada pembaca dan pembaca bisa bertanya yang jawabannya bisa diambil dari arsip yang ada di konten media bersangkutan. Jaemark menyebutkan pernah membuat eksperimen chatbot yang bisa bicara tentang dengan badan anggaran Filipina. “Pembaca bisa bertanya, jawabannya diambil dari badan anggaran Filipina,” katanya.
Bahkan dari eksperimen ini akhirnya diketahui beberapa kejanggalan dalam anggaran yang dikucurkan pemerintah. Misalnya, ada distrik kecil yang mendapat anggaran cukup besar untuk pembangunan infrastruktur basket, olahraga yang sangat digandrungi di Filipina. “Satu distrik ini mengendalikan 11 persen anggaran infrastruktur basket dari 13 distrik yang ada. Jelas ini anomali. Ini kerja AI dan jurnalisme, wartawan kemudian bisa menanyakan alokasi tersebut. Betapa mudahnya dialog dengan chatbot,” kata dia.
Eksperimen terbarunya yang disokong AI adalah membuat fitur artikel 4.000 kata untuk menghasilkan ilustrasi yang dijadikan bahan video dengan narasi bercerita yang mudah dipahami. Produk ini cukup diterima audiens, karena terlihat lebih hidup dan terasa dekat dengan mereka. “Ada aksen Filipina-nya. Ini jadi representasi, dari data terlihat penerimaan dari audiens. Jadi kita tidak terlalu ketinggalan. Jurnalis harus aktif, kreatif, bagaimana AI bisa diterapkan di newsroom dan bidang-bidang lain,” ujar dia.
Jaemark juga mengingatkan, AI pada dasarnya bisa dimanfaatkan di ruang redaksi, namun hanya sebagai sebuah perangkat. Jurnalis tidak perlu menyerahkan semua tugas kepada AI. "Sebab semakin saya kerja sama AI, semakin saya menyadari parahnya AI. Saya tidak percaya apa yang disajikan tanpa verifikasi," katanya.
Jurnalis bahkan harus terlibat dalam pembuatan sistem dan aplikasi AI agar bisa membuat rambu-rambu. Misal, bagaimana memasukkan mekanisme kepercayaan dalam tools yang digunakan. "Memang banyak yang bisa dilakukan AI dengan baik, tapi tidak 100 persen akurat. Ini berlaku pada pekerjaan kita sebagai jurnalis. Orang bisa dapat informasi dari mana saja, tapi yang dijual adalah integritas. Sudah diverifikasikah? Sudah cek datanya-kah? Jadi secara fundamental, pekerjaan jurnalis tidak berubah banyak meskipun ada AI," tuturnya.
2. AI hanya asisten, kendali newsroom ada di tangan manusia

Director of Thai News Agency’s Sure and Share Centre, Peerapon Anutarasoat menuturkan pengalamannya terkait pemanfaatan AI untuk mendukung kerja jurnalistik. Peerapon yang pernah bekerja di majalan komputer mengaku tidak memiliki pengalaman teknis seperti halnya Jaemark yang menekuni computer science sehingga tak hanya bisa menjadi jurnalis tapi juga menguasai keahlian teknis yang mendukung pekerjaannya.
Peerapon yang senang menonton film dokumenter penyebab kecelakaan-kecelakaan pesawat menganalogikan AI sebuah newsroom dengan pesawat tanpa pilot. “Apa kita yakin mengandalkan AI untuk menerbangkan pesawat? Bayangkan kita sudah menggunakan seatbelt dan ada pernyataan ‘ini (pilot) adalah AI, terdengar menakutkan. Tapi ini yang terjadi di newsroom, jurnalisme,” katanya.
Perkembangan AI di Thailand, sudah sampai ke anak-anak muda. Mereka memanfaatkan aplikasi AI, seperti Gemini atau Deepseek untuk menghasilkan video. Bahkan video 8 menit yang memuat konten kata-kata bijak biksu yang dihasilkan AI memiliki ratusan ribu pengikut hanya dalam waktu kurang satu minggu. “Orang berpikir ini lebih bagus dari biksu benaran. Ini jelas menimbulkan kehebohan di antara biksu di Thailand. Klip ini benar-benar bisa menghasilkan uang,” ujarnya.
Ketika konten-konten seperti ini bermunculan, tantangan pun mulai bermunculan, seperti tidak adanya sentuhan jurnalisme. Mereka hanya menghasilkan konten kemudian diposting tanpa etika.
“Kalau menonton dokumenter kecelakaan pesawat ada interaksi antara pilot dan co pilot, apa yang salah di sini. Kalau misal sebelumnya co pilot yang pegang kendali, biasanya pilot akan ambil alih kembali kendali. Jika kita pakai AI yang merupakan co pilot, ada kalanya kita perlu sampaikan kendali di tangan saya. Ini newsroom saya, saya yang pegang kendali. Saya yang tentukan. Saya optimistis AI bisa menghasilkan hal lain, tapi ada etika yang melekat di dalamnya,” kata Peerapon.
3. ChatGPT pun bisa berhalusinasi, butuh disiplin ketat untuk verifikasi

Kuek Ser Kuang Keng, Data Editor at Pulitzer Center, yang memberikan pendanaan untuk jurnalis yang melakukan investigasi, mengaku punya pengalaman tidak memuaskan terkait pemanfaatan AI. “Saya pernah gagal menggunakan AI,” katanya.
Keng menceritakan dia pernah menggunakan chatbot di ChatGPT untuk membantunya mengekstrasi tabel untuk menghasilkan nama sekolah lengkap dengan alamat dan nomor telepon di Brasil. Semua file dalam bentuk pdf dan tabel sudah dimasukin, namun ia melihat data yang tidak sesuai karena tabel tersebut justru memuat koordinat sekolah tersebut. “Ternyata ChatGPT membuat kategori sendiri membuat tabel baru dengan nama sekolah yang sebelumnya tidak ada dilengkapi dengan koordinat-koordinat,” ujar Keng.
Keng masih berpikir positif, ia mengira ada pdf yang berisi data rahasia sehingga muncul koordinat-koordinat tersebut. Ia lalu melakukan pengecekan ulang, dari hasil pengecekan ternyata koordinat tersebut diambil secara acak dari seluruh dunia. “Saya bertanya apa yang terjadi dengan 100 tabel yang saya masukkan. Saya harus cek faktanya,” kata dia.
Percobaan kedua dilakukan Keng untuk membuat daftar sekolah pendidikan usia dini di Brasil. Ia bahkan memasukan prompt yang spesifik, seperti cari di Google lalu baca websitenya dan buat daftar website tersebut, membuat rangkuman dari website tersebut, dan meminta penjelasan apakah ada sekolah untuk pendidikan usia dini atau tidak. Lagi-lagi ChatGPT mulai berhalusinasi dengan membuat daftar sekolah yang tidak pernah ada websitenya.
“Tapi percobaan berikutnya lebih berhasil. Kita menggunakan mesin learning untuk membaca citra satelit dari Nasa untuk mencari perkebunan sawit di seluruh Indoensia, di mana saja. Dan berhasil,” tuturnya.
“Jadi peran jurnalis data sekarang sudah berubah, harus tahu (penggunaan AI), harus bisa memberikan instruksi. Ini enggak sederhana, butuh keterampilan, pembelajaran yang intensif bagaimana belajar cek dan verifikasi data. Bagaimana meningkatkan transparansi, bagaimana proses mendapatkan jawaban. Ini yang harus dikuasai jurnalis,” Keng menambahkan.
Seorang editor, katanya, harus mampu melakukan cek fakta terhadap data yang diberikan reporternya. Apalagi jika artikel tersebut diolah atau berdasarkan AI. “Apa editor bisa mengecek atau mengolah fakta yang diberikan. Dulu tinggal tanya apakah kamu sudah wawancara? Sekarang pertanyaannya, apakah punya copy interaksi dengan AI? Apa langkah yang dilakukan? Apakah AI memberikan akurasi yang akurat? Jadi, AI memang bermanfaat tapi kita harus meningkatkan kemampuan agar AI akuntabel buat kita,” ujarnya.