Ketua Komisi VII DPR Desak Cabut Izin Perusahaan Nikel yang Rusak Raja Ampat

- Ketua Komisi VII DPR usul izin perusahaan yang rusak lingkungan harus dicabut
- Ada empat perusahaan pemilik tambang nikel di Raja Ampat
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan komisi VII DPR sudah melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Raja Ampat, Papua Barat Daya pada 28 Mei-2 Juni 2025 lalu. Salah satu hal yang ditinjau yakni adanya tambang nikel di Raja Ampat. Ia mengaku keberadaan tambang nikel di Raja Ampat sudah menjadi perhatian pihaknya.
"Itu sebabnya pada 28 Mei-2 Juni 2025 komisi VII melakukan kunker reses ke tempat tersebut. Kunker diikuti oleh rombongan komisi VII yang ditugaskan ke sana," ujar Saleh di dalam keterangan tertulis pada Minggu (8/6/2025).
Ia mengatakan pihaknya di sana sudah bertemu dengan gubernur dan aparat pemerintah daerah, termasuk kelompok masyarakat yang menyampaikan aspirasi. Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan aspirasi dari semua pihak didengarkan dan diperhatian sebagai bahan masukan.
"Ada dua isu yang sempat mengemuka, yaitu peningkatan kualitas Raja Ampat sebagai destinasi wisata dan soal kerusakan ekositem dan lingkungan, akibat pertambangan yang ada. Kedua isu ini saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain," tutur dia.
Ia pun mengakui bila pertambangan dibiarkan maka dapat merusak alam dan lingkungan. Raja Ampat sebagai destinasi wisata strategis bisa terganggu.
"Oleh sebab itu pemda dan masyarakat meminta agar alam serta lingkungan mereka tetap dijaga," imbuhnya.
Apa langkah yang bakal ditempuh oleh komisi VII DPR usai lakukan kunker?
1. Ketua Komisi VII DPR usul izin perusahaan yang rusak lingkungan harus dicabut

Lebih lanjut, usulan yang disampaikan oleh Saleh yakni perusahaan penambang yang terbukti telah merusak lingkungan maka izinnya harus segera dicabut. Perusahaan itu, harus membuat skema ketahanan lingkungan sehingga tidak mengganggu masyarakat.
"Tidak boleh ada kerusakan lingkungan akibat pertambangan," ujar Saleh.
Ia mewanti-wanti tidak boleh hanya perusahaan penambang yang diuntungkan, sedangkan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya rusak. "Alam dan lingkungan harus dijaga untuk masa depan anak-anak Papua," tutur dia.
2. Ada empat perusahaan pemilik tambang nikel di Raja Ampat

Sementara, Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), ada empat perusahaan pemilik tambang nikel Raja Ampat dengan aktivitas operasi di Pulau Gag dan pulau-pulau di sekitarnya. Keempat perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan atau IUP. Namun, hanya tiga perusahaan yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Berikut profil singkat keempat perusahaan itu:
1. PT Gag Nikel
Dikutip dari Harian Kompas, PT Gag Nikel adalah perusahaan pemegang kontrak karya sejak 1998. Mulanya, saham PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd sebesar 75 persen dan PT Antam Tbk sebesar 25 persen.
Namun, sejak 2008, Antam mengakuisisi semua saham Asia Pacific Nickel Pty Ltd sehingga PT Gag Nikel sepenuhnya dikendalikan oleh Antam. Berdasarkan informasi di laman Kementerian ESDM, kontrak karya PT Gag Nikel terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017.
Perusahaan itu memiliki luas wilayah izin pertambangan 13.136 hektar. PT Gag Nikel mendapat izin produksi pada 2017, lalu mulai berproduksi pada 2018.
2. PT Mulia Raymond Perkasa
Sedikit sekali informasi yang dapat digali mengenai PT Mulia Raymond Perkasa. Namun, merujuk pada data KLH, perusahaan ini melakukan pertambangan di Pulau Batang Pele.
KLH tidak menyebut luasan aktivitas pertambangan. Dalam keterangan resminya, KLH menyatakan PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele.
3. PT Kawei Sejahtera Mining
Sama halnya dengan PT Mulia Raymond Perkasa, tak banyak informasi yang bisa ditelusuri dari PT Kawei Sejahtera Mining. Mengutip laman Kementerian ESDM, PT Kawei Sejahtera Mining adalah perusahaan tambang yang terdaftar di Direktorat Jenderal Minerba dengan izin usaha pertambangan (IUP) untuk operasi produksi bijih nikel.
IUP tersebut memiliki nomor 5922.00 dan valid hingga 26 Februari 2033. Sementara KLH menyebut, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe.
4. PT Anugerah Surya Pratama
Perusahaan ini termasuk penanam modal asing (PMA), milik raksasa nikel asal China, Wanxiang Group. Di Indonesia, induk dari PT Anugerah Surya Pratama adalah PT Wanxiang Nickel Indonesia.
Dilihat dari situs resmi perusahaan, PT Wanxiang Nickel Indonesia juga jadi salah satu perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Morowali. Bisnis inti perusahaan adalah tambang nikel dan peleburan Feronikel. Area tambangnya juga terletak di Pulau Waigeo dan Manuran, Papua.
3. Kementerian Lingkungan Hidup temukan pelanggaran tambang nikel di Raja Ampat

Sementara, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol mengakui ada pelanggaran yang dilakukan oleh empat perusahaan penambang di Raja Ampat. Aturan yang dilanggar yakni soal peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Untuk PT Anugerah Surya Pratama, Hanif mengatakan perusahaan itu diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian. Di lokasi ini, KLH/BPLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
Sementara itu, PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas kurang lebih 6.030,53 hektare. Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hanif mengatakan saat ini pihaknya tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT ASP dan PT GN. Jika terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka izin lingkungan mereka akan dicabut.
"Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan," kata Hanif di dalam keterangan pada 5 Juni 2025 lalu.