Kisah Adang, Tukang Becak Tua Mengais Rezeki di Tengah Banjir

Bekasi, IDN Times - Langit kelabu Kota Bekasi, Jawa Barat, tak mengendurkan semangat Adang. Lelaki 60 tahun itu masih berjibaku di tengah banjir. Cucuran peluh yang membasahi dahi ayah tiga anak ini menjadi saksi bisu, betapa bencana alam bukan alasan untuk mengeluh.
Seakan tidak memiliki waktu untuk menggerutu. Apa pun petaka yang menjagal, ia bertekad untuk tidak pernah berhenti mencari nafkah.
Di tepi Jalan Nangka Raya, Kota Bekasi, Adang menyeka keringat dengan handuk putih yang sudah menguning. Sepertinya sudah bertahun-tahun ia gunakan. Kepalanya celingukan kanan-kiri. Menegur setiap orang yang berjalan mendekati. Berharap salah satu dari mereka adalah rezeki titipan Sang Ilahi.
“Becak, ayo becak, buat nyebrang,” kata dia di tengah kegaduhan jalan raya. Sesekali suaranya berlomba dengan bising klakson dan sirine ambulans yang hilir-mudik.
Kisah Adang boleh jadi secuil berkah di tengah musibah. Ada lebih dari lima tukang becak yang menjual jasa “penyeberangan” menerobos banjir. Kendati kaos dan celana basah kuyup. Air setinggi 70 centimeter membentang sejauh mata memandang. Adang seolah tak mengenal kata getir dalam kamus hidupnya.
“Ya buat makan sama kirim uang buat keluarga di kampung. Kalau gak gini gak makan,” ujarnya, menjelang Maghrib, Kamis (2/1).
1. Meraup penghasilan enam kali lipat dari hari biasanya

Petang itu, saya memutuskan untuk menggunakan jasa Adang guna menerabas banjir sepanjang 700 meter. Ia menambahkan papan sepanjang satu meter di atas dudukan becak. Membentang di antara tepian besi penopang yang meliuk-liuk. Di situlah tempat penumpang duduk.
“Kalau duduk di kursi biasanya masih kena air, duduknya di sini (menunjuk papan kayu),” terang dia, menyiasati supaya pengguna becak tidak tersentuh air.
Sembari menggowes satu-satunya kendaraan roda tiga yang ia miliki, Adang terus mengucap syukur karena banjir menjadi cara Tuhan untuk menurunkan berkah. Jika setiap hari ia hanya mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah paling banter Rp50 ribu per hari, kemarin saat banjir ia mampu meraup uang hingga Rp300 ribu, itu pun malam belum berakhir.
“Ya kita mah tradisional, jadi kalah sama ojol. Tapi banjir gini ojol pada gak keluar kan. Alhamdulillah, tadi jaga dari jam 8 (pagi) sampai sekarang (pukul 17.00 WIB) sudah delapan kali narik, ya Alhamdulillah,” ujarnya. Tak lupa kalimat pujian kepada Sang Maha Kuasa berulang kali ia lontarkan.
2. Tidak mematok biaya untuk membantu masyarakat

Adang sadar ia membutuhkan uang. Namun, ia juga memahami bila masyarakat sekitar tertimpa bencana. Jiwa kemanusiaannya bergejolak. Bermodalkan becak, ia berharap bisa membantu penduduk setempat, setidaknya untuk menyeberangkan mereka yang tidak mampu melewati air setinggi paha orang dewasa.
“Ya Alhamdulillah jadi berkah, ada yang ngasih Rp40 ribu, ada yang ngasih Rp25 ribu, ada juga Rp50 ribu, saya gak matok sih. Alhamdulillah kemarin (Rabu, 1 Januari 2020) dapat Rp300 ribu seharian jaga. Sekarang belum ngitung nih, cuma lebih sih (dari Rp300 ribu) kayaknya,” sambung dia.
Bila warga memilih untuk menapaki banjir alih-alih menaiki becak, Adang mendedikasikan tenaganya berjuang bersama para relawan. Ia kerap bolak-balik untuk mengirimkan logistik kepada para terdampak banjir.
“Tadi malam aja anterin dua kardus makanan, ada kali bangsa 150 bungkus,” katanya.
3. Menerabas banjir membutuhkan tenaga besar

Usia Adang tidak lagi muda. Rambutnya sudah memutih. Kulitnya pun keriput. Mendorong becak dengan beban puluhan kilogram di tengah banjir bukan perkara mudah. Ketika ia tidak lagi mampu mengayuh becak, dia memilih untuk turun dan mendorongnya. Pelan memang. Tapi perlahan maju.
Jika ada mobil yang melintas, Adang harus kuat menahan gelombang yang menghantamnya. Kadang kala ia berhenti sejenak, seraya mengumpulkan tenaga, kemudian berjalan kembali. Dia tidak tahu pasti apakah lubang atau sampah menghalangi ban becaknya.
Bersama IDN Times, becak Adang hampir terguling di tengah jalan. Ternyata, ban mobil yang hanyut terbawa arus mengganjal bagian kiri becak. Dengan keringat yang bercucuran, ia harus kuat menahannya. Berjuang supaya permukaan air tidak membasahi sepatu penumpangnya.
“Padahal mah rumah saya juga kebanjiran. Tapi ya saya lanjut (kerja) aja, saya tinggal sendiri soalnya. Keluarga di kampung semua. Kalau gak gini gak bisa kirim uang,” tutup Adang sembari menerima uang Rp50 ribu yang saya berikan. Ia mengumpulkan uang hasil menarik becak di kantong kaosnya. Dimasukkan ke dalam plastik kiloan. Jaga-jaga kalau uangnya terjatuh karena hal-hal yang tidak diinginkan.