Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pelecehan dan kekerasan Perempuan
Ilustrasi pelecehan dan kekerasan Perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya sih...

  • Kisah kekerasan dialami perempuan pekerja dapur MBG di NTT.

  • Kisah lain soal intimidasi yang diduga dilakukan aparat intelijen usai menolak membuat video dukungan politik pada Pilpres 2024.

  • Ada juga kasus lain tentang peleburan dinas perlindungan perempuan dan anak di NTB, karena alasan efisiensi, hingga berisiko melemahkan penanganan kasus kekerasan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Berbagai kondisi kekerasan hingga upaya penanganan kasus di daerah terus digaungkan, dalam lingkup isu perempuan dan anak. Ini merupakan bagian dari upaya yang dilakukan Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal), yang menjangkau kisah-kisah perempuan yang tak terjangkau dan hanya kerap terdesentralisasi di Pulau Jawa.

Kapal melakukan upaya penguatan kesadaran media berkeadilan gender dan berperspektif korban melalui pelibatan aktif komunitas perempuan akar rumput. Bersama dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) pada Sabtu, 11 Oktober 2025, sejumlah sekolah perempuan yang ada di bawah naungan Kapal menceritakan kondisi di lapangan, di masing-masing daerah yang mungkin hanya bisa dijangkau lewat percakapan telepon genggam kepada jurnalis-jurnalis yang ada di Jakarta.

Para perempuan di akar rumput berbagi kondisi penanganan kasus, intimidasi politik, hingga krisis kelembagaan perlindungan perempuan.

1. Perempuan pekerja dapur MBG di NTT mengalami kekerasan fisik

ilustrasi daycare (pexels.com/RDNE Stock project)

Y dari Perkumpulan Perkumpulan Pendidikan Penguatan Kepemimpinan Perempuan dan Masyarakat atau Peka PM di Nusa Tenggara Timur (NTT), menceritakan bagaimana masih adanya kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kerja.

Hal ini menimpa anggota Sekolah Perempuan yang mengalami kekerasan fisik saat bekerja di dapur program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Program yang sedang gencar dikembangkan pemerintah itu sebelumnya menuai keresahan, karena beberapa anak mengalami keracunan akibat makanan basi.

Para ibu kemudian berinisiatif ikut bekerja di dapur agar kualitas makanan lebih terjamin. Namun, upah yang mereka terima hanya Rp100 ribu per hari, sementara jam kerja mereka panjang membuat situasi mereka rentan.

Saat bergabung, korban dipukul menggunakan batu hingga tulang hidungnya patah. Peristiwa ini terungkap, setelah korban melapor ke pusat pengaduan Sekolah Perempuan Peka PM. Pendamping lapangan, Y, menjelaskan kekerasan tersebut terjadi di tengah upaya perempuan desa berkontribusi menyediakan makanan sehat bagi anak-anak sekolah.

"Dalam pekerjaan tersebut, terdapat satu orang di sekolah perempuan yang bekerja di dapur tersebut mengalami kasus kekerasan fisik. Dia dilempari dengan batu sampai tulang hidungnya patah. Jadi kemudian dia melakukan pada pos pengaduan Sekolah Perempuan yang menerima aduan tentang kekerasan salah satu isu yang dilayani di pos pengaduan. Nah, kemudian Sekolah Perempuan yang datang ini sebagai sebuah kasus kekerasan yang harusnya mendapat penanganan dari aparat pengamanan," katanya.

Namun, Y menceritakan, pengaduan atas kasus kekerasan tersebut belum mendapat respons dari aparat keamanan. Pihaknya masih mengumpulkan data lanjutan, karena sebagian korban dan keluarga enggan bersuara akibat intimidasi dari pihak keamanan. Lembaga pendamping mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum, segera memberikan perlindungan dan memastikan keadilan bagi korban.

2. Dapat tekanan usai tolak buat video dukungan politik

Ilustrasi - AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)

Kisah selanjutnya datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perempuan dan Anak Morotai, yang menceritakan adanya dugaan intimidasi dari pihak yang mengaku aparat intelijen setelah mereka menolak permintaan membuat video dukungan politik.

Direktur LBH Perempuan dan Anak Morotai, Juniar, menceritakan pada Oktober 2024, seorang perempuan bernama Tari menghubungi lembaganya dan mengaku dari Badan Intelijen Negara (BIN). Tari meminta agar LBH dan Sekolah Perempuan Waringi membuat video ucapan selamat atas pelantikan Presiden Prabowo Subianto.

Meski sudah menolak secara sopan, tekanan berlanjut. Sekretaris Sekolah Perempuan, juga menerima pesan serupa.

"Nah, saya menyampaikan bahwa LBH tidak merasa perlu untuk membuat video tersebut, karena kami sudah mengakui Bapak Prabowo sebagai Presiden terpilih sesuai keputusan KPU (Komisi Pemilihan Umum), dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan," kata Juniar.

Bahkan, beberapa bulan sebelumnya, para aktivis mengaku diawasi orang tak dikenal saat menggelar kegiatan pendidikan politik dan deklarasi “Jaga Pemilu.” Mereka melihat mobil mencurigakan di sekitar lokasi kegiatan.

"Memang kami ini sudah dalam pantauan sejak Januari hingga Februari 2024, pada saat itu kami lagi bincang melaksanakan kegiatan sosialisasi Jaga Pemilu, dan juga ada pendidikan politik bagi anggota Sekolah Perempuan," katanya.

Tekanan makin terasa ketika seorang pria lain, kembali mengaku dari lembaga yang sama, memaksa agar kontak pribadinya disimpan untuk memantau aktivitas mereka. LBH menilai tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap gerakan perempuan di daerah. Kendati, para aktivis tetap melanjutkan pendampingan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Morotai.

3. Tolak Peleburan Dinas Perempuan dan Anak ke Dinas Sosial di NTB

Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Satu kisah lainnya datang dari Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia/LPSDM yang berada di Nusa Tenggara Barat (NTB). Di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB, pemerintah provinsi justru melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial.

Keputusan tersebut menuai kritik tajam dari jaringan aktivis perempuan, termasuk Sekolah Perempuan Lombok, serta mitra organisasi Kapal Perempuan.

Menurut Tulu'ul Fajriani perwakilan mitra Kapal Perempuan di Lombok, alasan peleburan disebut untuk efisiensi anggaran. Namun, langkah ini dinilai mengabaikan urgensi perlindungan perempuan di wilayah yang mencatat angka kekerasan terhadap anak tertinggi secara nasional.

Fajriani menilai penggabungan tersebut akan memperlemah penanganan kasus, karena fungsi perlindungan korban kini harus berbagi sumber daya dengan urusan kemiskinan, bencana, dan disabilitas.

Aliansi Perempuan dan Anak NTB telah melakukan berbagai upaya untuk menolak kebijakan ini, mulai dari audiensi dengan gubernur, demonstrasi ke DPRD, hingga kampanye melalui media. Namun, respons pemerintah daerah cenderung menutup diri, hingga diungkap ada inisiatif pribadi dan tak dapat ditentang.

"Jadi kalau melihat kondisi bagaimana pendampingan kasus teman-teman yang dilakukan oleh Sekolah Perempuan, setiap kasus yang dirujuk di beberapa kabupaten, dirujuk UPTDPPA, ini juga cukup lemah ya, di dalam penanganan," katanya.

Fajriani menjelaskan, kondisi di lapangan kini memburuk. Unit Pelaksana Teknis Penanganan Kekerasan (UPT P2TP2A) melemah dan banyak kasus diselesaikan dengan pendekatan bantuan sosial, bukan pendampingan hukum dan psikologis. Ia khawatir lambatnya respons akan memperburuk krisis perlindungan korban di NTB, terutama bagi perempuan korban kekerasan.

"Ada beberapa yang kami ukur bahwa jika risiko peleburan ini akan dilakukan, maka akan mengkhawatirkan bahwa fokus penanganan penampingan itu akan tergerus. Karena kita tahu bahwa bagaimana dinas sosial sendiri, itu juga sangat berat dan banyak urutan yang mereka harus terus. Misalnya penanganan bencana, kemiskinan, juga termasuk disabilitas," katanya.

Editorial Team