Ilustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)
Satu kisah lainnya datang dari Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia/LPSDM yang berada di Nusa Tenggara Barat (NTB). Di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTB, pemerintah provinsi justru melebur Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial.
Keputusan tersebut menuai kritik tajam dari jaringan aktivis perempuan, termasuk Sekolah Perempuan Lombok, serta mitra organisasi Kapal Perempuan.
Menurut Tulu'ul Fajriani perwakilan mitra Kapal Perempuan di Lombok, alasan peleburan disebut untuk efisiensi anggaran. Namun, langkah ini dinilai mengabaikan urgensi perlindungan perempuan di wilayah yang mencatat angka kekerasan terhadap anak tertinggi secara nasional.
Fajriani menilai penggabungan tersebut akan memperlemah penanganan kasus, karena fungsi perlindungan korban kini harus berbagi sumber daya dengan urusan kemiskinan, bencana, dan disabilitas.
Aliansi Perempuan dan Anak NTB telah melakukan berbagai upaya untuk menolak kebijakan ini, mulai dari audiensi dengan gubernur, demonstrasi ke DPRD, hingga kampanye melalui media. Namun, respons pemerintah daerah cenderung menutup diri, hingga diungkap ada inisiatif pribadi dan tak dapat ditentang.
"Jadi kalau melihat kondisi bagaimana pendampingan kasus teman-teman yang dilakukan oleh Sekolah Perempuan, setiap kasus yang dirujuk di beberapa kabupaten, dirujuk UPTDPPA, ini juga cukup lemah ya, di dalam penanganan," katanya.
Fajriani menjelaskan, kondisi di lapangan kini memburuk. Unit Pelaksana Teknis Penanganan Kekerasan (UPT P2TP2A) melemah dan banyak kasus diselesaikan dengan pendekatan bantuan sosial, bukan pendampingan hukum dan psikologis. Ia khawatir lambatnya respons akan memperburuk krisis perlindungan korban di NTB, terutama bagi perempuan korban kekerasan.
"Ada beberapa yang kami ukur bahwa jika risiko peleburan ini akan dilakukan, maka akan mengkhawatirkan bahwa fokus penanganan penampingan itu akan tergerus. Karena kita tahu bahwa bagaimana dinas sosial sendiri, itu juga sangat berat dan banyak urutan yang mereka harus terus. Misalnya penanganan bencana, kemiskinan, juga termasuk disabilitas," katanya.