Kisah Mahasiswa di Semarang Alami Kendala Skripsi dan Masalah Keuangan

Jakarta, IDN Times - Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan untuk menekan angka penyebaran COVID-19 di Tanah Air memaksa seluruh masyarakat untuk tetap berada di rumah, tak terkecuali para mahasiswa.
A (21), misalnya, seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang, kini harus melakukan bimbingan skripsi online dari rumah.
Namun, apakah hanya itu pengaruh yang COVID-19 bawa? Adakah aspek lain dari kehidupan A yang juga terpengaruh?
1. Bimbingan skripsi dilakukan secara online
A yang sedang menyelesaikan skripsinya pun kini harus melakukan bimbingan skripsi secara online.
Ia mengaku, “Sebenarnya bukan masalah yang besar, namun dengan sistem seperti ini, untuk menyelesaikan satu revisi saja bisa dibilang cukup memakan waktu.”
Kebiasaan mencoret-coret hardcopy skripsi secara langsung rupanya sudah menjadi kebiasaan yang kini belum bisa dilakukan lagi.
“Mungkin karena sudah terbiasa seperti itu, ya.
"Instruksi atau revisi yang dituliskan di atas lembar hardcopy skripsi malah dapat lebih cepat saya selesaikan, jadi efektif dan efisien.
"Ditambah, saya juga merasa sungkan bila harus bertanya banyak terkait poin-poin yang belum saya pahami karena tak bertatap muka secara langsung.
"Serba terbatas,” ungkapnya.
2. Keluarga tak ada pemasukan
Selain tantangan dalam proses pengerjaan skripsinya, keluarga A juga harus menghadapi kendala lain di masa pandemik ini.
“Orang tua saya tidak mendapatkan penghasilan.
"Ayah saya membuka toko obat-obatan dan terapi tradisional, namun karena adanya COVID-19 dan PSBB, ia terpaksa menutupnya demi keamanan bersama,” kata A.
Saat ditanya bagaimana keluarganya dapat bertahan hidup saat ini, ia menjawab, “Alhamdulillah, dengan adanya tabungan keluarga, kami masih bisa memenuhi kebutuhan primer sehari-hari.
"Namun, tetap saja itu tak mudah karena tabungan kami pun tidak seberapa.
"Oleh karenanya, ayah dan bunda sekarang mencari pekerjaan dengan berjualan di online shop. Karena bunda bisa buat kue, lebaran lalu kue tersebut dijual dengan cara pre order.”
3. Bunda, sang suporter finansial keluarga
Kekhawatiran yang berlebihan tentu tak akan berdampak baik bagi kesehatan mental siapa pun.
Sama halnya dengan A, “Rasa khawatir tentang hari esok itu pasti ada.
"Apalagi, wisuda juga sudah di depan mata. Kalau benar wisuda telah dapat dilaksanakan secara langsung, biayanya pasti banyak juga.”
Namun, A dan keluarga berusaha mengubur kekhawatiran itu agar rasa optimisme mereka tetap ada.
“Bunda seorang ibu rumah tangga. Karena kami mengandalkan uang tabungan, kami harus serba irit.
"Meski semua serba terbatas, bunda hebat karena ia masih bisa menyisihkan uang untuk ditabung.
"Misalnya, uang Rp100 ribu bisa dibuat bertahan sampai 3-4 hari, paling cepat 2 hari.
"Bunda juga merupakan suporter finansial keluarga kami karena ia juga turut memikirkan apa yang dapat kami lakukan untuk menyambung hidup,” terangnya.
4. Kita tak pernah berjuang sendirian
Keadaan sebenarnya tak membuat A tega untuk berdiam diri.
Namun, karena situasi saat ini belum kondusif, mendapatkan pekerjaan paruh waktu guna mendukung kondisi ekonomi keluarganya pun menjadi sesuatu yang tak mudah diperoleh.
“Saya pun tak bisa berbuat banyak. Sudah saya coba, tapi sulit,” katanya.
Kisah A, seorang gadis berusia 21 tahun yang masih menempuh pendidikan di bangku kuliah ini mengingatkan kita untuk terus bersyukur dan bersabar.
“Badai pasti berlalu,” katanya penuh keyakinan. “Ada kalanya kita harus menengok ke bawah. Pasti ada orang lain yang tak seberuntung kita, kok.”
Jangan terlalu lama mengeluhkan kesulitan kita, sebab kesulitan dapat mengingatkan kita untuk terus mencari kekuatan apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita.
Apa yang A katakan benar adanya.
Kamu tidak sendiri, tetap optimis dan saling mendukung satu sama lain karena #KitaIDN.