Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Mantan Teroris Tatak Lusiantoro
Eks narapidana kasus terorisme, Tatag Lusiantoro yang kini menjadi mitra Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Tatag terpengaruh pemahaman yang tidak pas sehingga bergabung ke JI

  • Sulit bujuk eks napi terorisme lainnya kembali ke NKRI karena tak ada rasa percaya

  • Eks napi teroris ingin membentuk koperasi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Salah satu eks napi kasus terorisme, Tatag Lusiantoro berdiri tegap di podium yang berada di Pendopo Pengayoman, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (7/8/2025). Mengenakan kemeja batik dan peci hitam, Tatag mengisahkan kembali perjalanannya ketika masih menjadi anggota Jemaah Islamiyah (JI).

Ia berbagi cerita sambil sesekali tertawa di hadapan koleganya sesama eks napi kasus terorisme, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris Salut, dan anggota ormas.

Pria berusia 53 tahun itu merupakan menantu dari Muh Djahri, warga Desa Beji, Kabupaten Temanggung, Jateng. Pada 2009, rumah Djahri pernah digrebek Densus 88 Antiteror. Hal itu lantaran rumah Djahri dijadikan tempat persembunyian Ibrahim, salah satu pelaku teroris bom Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton.

Ia mengaku terpengaruh paham radikal karena menginginkan kesempurnaan ketika mempelajari agama. "Selain itu saya melihat ada ketimpangan penegakan hukum, maka hal itu mendorong saya untuk bergabung dengan kelompok Jemaah Islamiyah (JI)," ujar Tatak.

Bak jenjang karier di organisasi, posisi Tatag di JI pun terus menanjak. Dari semula anggota kemudian menjadi salah satu pimpinan di tingkat lokal. Ia mengurusi divisi investigasi di wilayah Kojimak barat yang meliputi wilayah barat Sumatra hingga Jawa.

"Hingga akhirnya saya diambil pada 2016 setelah lama menjadi DPO. Jadi, tidak ada istilahnya ditangkap," katanya.

"Jadi, saya dulu dikejar-kejar, sering kucing-kucingan gitu (dengan Densus 88 Antiteror) tapi sekarang kita bisa bergandengan tangan bersama," imbuh Tatag.

1. Tatag terpengaruh pemahaman yang tidak pas sehingga bergabung ke JI

Eks narapidana kasus terorisme, Tatag Lusiantoro yang kini menjadi mitra Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (IDN Times/Santi Dewi)

Lebih lanjut, Tatag mengakui bisa terseret masuk ke dalam organisasi Jemaah Islamiyah (JI) lantaran mengikuti pemahaman yang kurang pas.

"Jadi, salah satu faktor, kami benar-benar diam dalam memahami dalil-dalil Al-quran dan sunah," katanya.

Sehingga, ia akan mengikuti secara saklek apa yang tertulis dan diperintahkan di dalam Al-quran. Ia kemudian juga mengenang momen ketika bersedia keluar dari JI atas keinginan sendiri. Bukan paksaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

"Karena kami memang belajar dan melakukan dialog yang sangat lama. Kami diberikan akses ke buku-buku di perpustakaan lalu melakukan dialog kreatif dengan BNPT," tuturnya.

Dialog dengan tim BNPT, kata Tatag, bisa berlangsung dari pagi sampai waktu asar. Bahkan, ada pula yang berlangsung hingga magrib. Ketika itu suasana dialog mirip dengan ujian disertasi untuk mendapat gelar doktor.

"Jadi, saya harus mempertahankan pendapat saya, sedangkan tim dari BNPT juga memberikan bantahan-bantahan," imbuhnya.

2. Sulit bujuk eks napi terorisme lainnya kembali ke NKRI karena tak ada rasa percaya

Audiensi Kepala BNPT, Komjen Pol Eddy Hartono (tengah) bersama anggota komisi XIII DPR dan Wakil Bupati Temanggung dengan eks napi kasus terorisme. (IDN Times/Santi Dewi)

Sementara, dalam pertemuan tertutup dengan Kepala BNPT, Komjen Pol Eddy Hartono, Wakil Bupati drg. Nadia Muna dan anggota komisi XIII, Vita Ervina, Tatag mengatakan ia dan dan rekan-rekannya mengaku siap berkolaborasi dengan BNPT, untuk meredam paham radikal. Namun, rekan-rekannya yang dulu tergabung kelompok teroris itu, kini membutuhkan pembinaan secara ekonomi agar tetap bisa bertahan hidup.

Tatag mengaku menghadapi kesulitan dalam membujuk teman-temannya agar dapat kembali ke pangkuan Indonesia. Meskipun, ia diberi waktu sekitar lima tahun.

"Tetapi, untuk membangun trust kepada negara tidak semudah membalikan telapak tangan. Jujur saja, di akar rumput, kami ada kendala untuk membujuk. Masih ada yang ragu," kata Tatag.

3. Eks napi teroris ingin membentuk koperasi

Audiensi Kepala BNPT, Komjen Pol Eddy Hartono (tengah) bersama anggota komisi XIII DPR dan Wakil Bupati Temanggung dengan eks napi kasus terorisme. (IDN Times/Santi Dewi)

Lebih lanjut, Tatag mengatakan, koleganya yang berada di Temanggung ingin membentuk koperasi. Namun, ia dipesankan agar koperasi tersebut tidak didominasi eks napi teroris yang dulu bergabung di Jemaah Islamiyah (JI).

"Karena kalau semuanya eks JI, malah bisa ngumpul lagi. Maka, kemudian menggali eks JI dan masyarakat. Karena mayoritas dari kami adalah petani, maka kami mencoba menyenggol kelompok tani-kelompok tani yang ada di Temanggung," kata dia.

Tatag mengatakan, hingga saat ini koperasinya belum terbentuk. Ia berharap, koperasi itu dapat diwujudkan dalam waktu dekat.

Aspirasi lainnya yaitu ada eks napi teroris yang memproduksi minuman jahe dalam kemasan. Ia berharap pemerintah bisa membantu pemasaran produk minuman jahe dalam kemasan tersebut.

"Harapannya bisa diberikan sedikit mesin tambahan untuk pengolahan jahe," kata Tatag.

Editorial Team