Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

BNPT Ungkap 3 Faktor Pembentuk Sikap Intoleransi Seseorang

Kepala BNPT
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Eddy Hartono di Temanggung, Jawa Tengah. (IDN Times/Santi Dewi)
Intinya sih...
  • Keluarga, lembaga pendidikan, dan media sosial mempengaruhi intoleransi
  • BNPT menggunakan pendekatan humanis untuk mendapatkan keterangan tersangka terorisme
  • BNPT melakukan upaya mitigasi sikap intoleransi dengan kolaborasi pemerintah dan masyarakat
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Eddy Hartono, mengatakan salah satu penyebab terjadinya peristiwa intoleransi, karena kurangnya dialog antara pemerintah pusat, pemda, dan masyarakat.

Itu sebabnya BNPT menggelar dialog kebangsaan di Pendopo Pengayoman, Kabupaten Temanggung, Jawa Tegnah, dengan mengundang sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari Pemkab Temanggung, anggota Komisi XIII DPR RI Vita Ervina, eks narapidana teroris, dan organisasi kemasyarakatan.

Pemilihan Kabupaten Temanggung sebagai lokasi dialog lantaran pernah dibangun Kawasan Terpadu Nusantara (KTN) di lereng Gunung Sindoro. Di area seluas 10 hektare itu memang didedikasikan bagi eks narapidana terorisme untuk mengikuti program deradikalisasi sejak 2022. Program tersebut melibatkan 30 hingga 40 eks napi terorisme asal Jawa Tengah.

"Salah satu faktor penyebab intoleransi adalah kurangnya dialog atau kurangnya ruang untuk diskusi. Jadi dialog dan diskusi ini harus sering-sering. Dengan begitu, hambatan informasi yang jadi pemicu permasalahan diharapkan bisa diatasi secara dini," ujar Eddy ketika memberikan sambutan di Temanggung, Kamis (7/8/2025).

Dalam sambutannya, mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror itu menggarisbawahi, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya. Meski begitu, ia tak menampik peristiwa intoleransi masih terjadi di sejumlah wilayah.

Eddy memaparkan tiga faktor penentu sehingga muncul sikap intoleransi dalam diri seseorang. Apa saja?

1. Keluarga, lembaga pendidikan, dan konsumsi media sosial jadi penentu

Ilustrasi media sosial
Ilustrasi media sosial (freepik.com/freepik)

Lebih lanjut, Eddy memaparkan tiga faktor penentu benih-benih intoleransi di dalam diri seseorang. Pertama, didikan keluarga.

"Keluarga termasuk ke dalam pranata sosial. Ia merupakan unit terkecil di dalam sosial masyarakat. Bagaimana keluarga ini tempat mendidik anak-anak kita supaya ke depannya, nilai-nilai keagamaan dan toleransi, tumbuh dan berkembang," kata dia.

Faktor penentu kedua, adalah lembaga pendidikan. Itu sebabnya, BNPT turut melakukan audiensi ke Menteri Pendidikan Tinggi dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.

"Tujuannya untuk memasukkan kurikulum-kurikulum. Kami juga melakukan audiensi ke Kementerian Agama dan Kementerian Sosial untuk melakukan intervensi terhadap kurikulum sehingga tercipta dialog kebangsaan," katanya.

Berdasarkan mitra BNPT yang merupakan eks napi kasus terorisme dari kelompok Jemaah Islamiyah, pembinaan kurikulum di pondok pesantren, dianggap sebagai langkah yang tepat. Agar tidak tercipta bibit-bibit intoleransi.

Faktor penentu ketiga adalah media sosial. Itu sebabnya tim BNPT memonitor setiap hari ruang siber dan digital.

"Bagaimana budaya, pemikiran, pengetahuan yang berkembang di media sosial. Apalagi terhadap penyebaran paham-paham radikal dan terorisme," tuturnya.

BNPT, kata Eddy, sudah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital. Caranya dengan menurunkan akun dan konten yang dianggap memecah belah anak-anak muda.

2. BNPT gunakan pendekatan humanis untuk meminta keterangan tersangka kasus terorisme

BNPT
Kisah Kepala BNPT ketika meminta keterangan amir dari kelompok Jemaah Islamiyah (JI), Zarkasih yang butuh waktu lima hari. (IDN Times/Santi Dewi)

Eddy kemudian mengisahkan ceritanya ketika masih menjadi penyidik di Densus 88 Antiteror pada 2006. Ia mengatakan ketika itu kesulitan mengggali keterangan dari pemimpin organisasi Jemaah Islamiyah (JI), Zarkasih. Pria yang juga memiliki nama alias Abu Irsyad itu menjadi pemimpin darurat JI pada 2004, menggantikan Abu Rusdan yang ditangkap polisi.

Eddy menyebut Zarkasih hanya diam seribu bahasa ketika diminta keterangan oleh Densus 88 Antireror. Sementara, pihaknya dilarang menggunakan kekerasan untuk mendapat keterangan.

"Proses itu berlangsung selama tiga hari tiga malam. Dia tidak mau bicara, dikasih makan gak mau. Diajak ngomong gak mau. Diam saja. Sementara, kami kan gak boleh melakukan kekerasan, gak boleh kami pukul. Akhirnya kami lakukan pendekatan secara humanis," tuturnya.

Zarkasih akhirnya bersedia buka suara ketika diajak ibadah salat berjemaah. Setelah itu, Zarkasih baru bersedia berbicara.

"Baru ada dialog di hari kelima. Alhamdulilah, karena dengan kesadaran dan keikhlasan itu tumbuh, Beliau-Beliau menceritakan semua," katanya.

Alhasil, pada 21 April 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lewat putusan nomor 2191/PID.B/2007/PN.JKT.SEL memutuskan Jemaah Islamiyah sebagai korporasi terlarang, karena ingin mengganti dasar negara Indonesia.

3. BNPT terus lakukan upaya mitigasi sikap intoleransi

Peristiwa intoleransi di Padang
Peristiwa perusakan rumah doa umat Kristen terjadi di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatra Barat. (Dokumentasi istimewa)

Sementara, ketika IDN Times meminta tanggapan terkait aksi pelanggaran kebebasan beribadah yang terjadi di beberapa wilayah, Eddy mengatakan, pihaknya terus melakukan mitigasi dari aksi-aksi intoleransi agar tidak membesar. Mitigasi itu dilakukan dengan berkolaborasi dengan beragam kementerian atau lembaga serta masyarakat.

"Kami lakukan upaya kontinu dan serius. Upaya itu didukung penuh oleh komisi XIII DPR RI. Kami juga akan mengajak masyarakat (untuk menumbuhkan sikap toleransi) sehingga kejadian-kejadian di kota-kota itu tidak terjadi lagi," tutur dia.

Selain itu, pelanggaran kebebasan beribadah di Cidahu, Sukabumi dan Padang, Sumatra Barat dikecam keras oleh organisasi SETARA Institute. Direktur eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan mengatakan tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dan nyata merupakan tindak kriminal yang melanggar hukum serta konstitusi. Oleh sebab itu, Halili mendesak aparat penegak hukum agar segera melakukan proses penegakan hukum atas tindakan kriminal yang dilakukan kelompok intoleran itu.

"Penegakan hukum diharapkan akan memberikan efek jera bagi pelaku dan mewujudkan keadilan bagi korban," kata Halili di dalam keterangan tertulis pada 28 Juli 2025.

Sebaliknya, ketiadaan penegakan hukum merupakan 'undangan' bagi berulangnya kejahatan terhadap kelompok minoritas dan rentan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us