Jakarta, IDN Times - Sejumlah organisasi yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Masyarakat, memprotes dispensasi yang diberikan Satgas Penanganan COVID-19 kepada pejabat eselon I dan di atasnya terkait karantina wajib.
Mereka bisa menjalani karantina di rumah dan bahkan masa karantinanya bisa dipangkas. Alasannya, karena mereka pejabat tinggi dan sewaktu-waktu bisa diminta berdinas.
"Ketentuan yang memuat dispensasi pengurangan durasi pelaksanaan karantina kepada pejabat eselon I bersifat diskriminatif, dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat," demikian pernyataan koalisi dalam keterangan tertulis, Jumat (17/12/2021).
Mereka mengatakan virus Sars-CoV-2 tak mengenal jabatan, jenis kelamin, usia dan waktu. Sebaliknya, kata mereka, siapa pun bisa terinfeksi Sars-CoV-2 ketika melakukan kontak dengan seseorang yang sudah terjangkit sebelumnya.
"Maka, pengistimewakan pejabat dalam aturan karantina tidak bisa diterima, diskriminatif dan tak adil," kata mereka.
Padahal, di aturan sebelumnya yakni Surat Edaran (SE) COVID-19 Nomor 23 Tahun 2021 tak memberikan keistimewaan bagi pelaku perjalanan internasional yang kembali ke Tanah Air. Di sana tertulis semua orang wajib menjalani karantina terpusat selama pandemik COVID-19.
Sementara, dalam aturan baru yakni SE Kasatgas Penanganan COVID-19 Nomor 25 Tahun 2021, mengakomodasi adanya diskresi itu. "Masa karantina 10 x 24 jam sebagaimana dimaksud pada angka 4.e. dapat diberikan dispensasi pengurangan durasi pelaksanaan karantina mandiri kepada WNI pejabat setingkat eselon I (satu) ke atas berdasarkan pertimbangan dinas atau khusus sesuai kebutuhan dengan ketentuan," demikian isi dispensasi dalam ketentuan baru tersebut.
Koalisi beranggapan adanya dispensasi bagi pejabat sekelas menteri itu diberikan bukan karena faktor pertimbangan sains. Apalagi saat ini varian baru Omicron sudah ditemukan di Indonesia.
Lalu, apa tuntutan dari pihak koalisi kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Kepala Satgas Penanganan COVID-19?