Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Komite Reformasi Polri
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira. (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • Andreas soroti potensi dualisme pengawasan dalam Komite Reformasi Polri

  • Reformasi Polri harus menyasar akar persoalan seperti budaya kekerasan dan kurangnya mekanisme check and balances

  • Komite Reformasi Polri harus independen, menjaga hak publik, memastikan keadilan, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, turut menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan melantik Komite Reformasi Polri untuk memperkuat institusi kepolisian di Indonesia.

Andreas berpandangan, reformasi Polri harus menitikberatkan kepada perlindungan hak asasi manusia (HAM), transparansi, dan akuntabilitas publik.

“Reformasi Polri bukan sekadar restrukturisasi birokrasi, tapi perubahan mendasar pada tata kelola dan budaya organisasi. Ini harus memastikan bahwa hak-hak warga negara, terutama kelompok rentan, terlindungi secara nyata,” kata Andreas kepada jurnalis, Rabu (8/10/2025).

1. Soroti potensi dualisme pengawasan

Ilustrasi Polri (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Andreas menyambut baik keterlibatan sejumlah tokoh independen yang disebut masuk dalam Komite Reformasi Polri seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, dan Jimly Asshiddiqie. Kehadiran mereka menjadi harapan memperkuat kontrol eksternal terhadap Polri.

"Terutama dalam meninjau praktik operasional dan kebijakan internal yang berdampak pada hak-hak warga negara," kata anggota Fraksi PDIP itu.

Namun, Andreas mengingatkan potensi risiko adanya dualisme pengawasan, khususnya kehadiran Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kehadiran mereka berpotensi akan menimbulkan bias.

"Kehadiran perwira aktif dalam tim reformasi berpotensi menimbulkan bias dan mengurangi efektivitas reformasi serta perlindungan hak publik,” ujar Andreas.

2. Reformasi Polri harus sasar akar persoalan

ilustrasi polisi (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Lebih jauh, Andreas menggarisbawahi, reformasi harus menyasar akar persoalan. Budaya kekerasan dan dominasi kepolisian dalam proses penyidikan, serta kurangnya mekanisme check and balances yang memadai harus menjadi titik beratnya.

"Transparansi dan akuntabilitas publik harus jadi fondasi utama dalam reformasi ini. Publik berhak tahu bagaimana mekanisme pengawasan dan penindakan pelanggaran anggota Polri berjalan,” ungkap dia.

Andreas juga menegaskan pentingnya profesionalisme Polri, agar lembaga ini dapat fokus pada pelayanan publik dan penegakan hukum yang adil.

"Kami mengingatkan pentingnya Polri terlepas dari praktik politik dan militeristik agar dapat benar-benar melayani masyarakat secara profesional,” kata Andreas.

3. Komite Reformasi Polri harus independen

Ilustrasi polisi menembakkan gas air mata. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi)

Menurut Andreas, Komite Reformasi Polri juga harus berfungsi sebagai instrumen independen yang menjaga hak publik, memastikan keadilan, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

"Keberhasilan reformasi akan diukur dari perlindungan hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kepercayaan masyarakat, bukan sekadar laporan formal atau retorika politik semata,” kata dia.

Presiden Prabowo Subianto akan melantik Komite Reformasi Polri pada pekan ini. Komite ini akan diisi sembilan orang yang dipilih Prabowo.

Mensesneg RI, Prasetyo Hadi menyebut salah satu tokoh yang sudah menyatakan kesediaan masuk komite adalah eks Menko Polhukam, Mahfud MD. Beberapa tokoh lainnya adalah mantan Kapolri, namun Prasetyo enggan mengungkap siapa tokoh yang dimaksud.

Editorial Team