Komitmen Indonesia di Proyek KF-21 Boramae Dinilai Sangat Minim

Jakarta, IDN Times – Pakar industri pertahanan dari MARAPI Consulting & Advisory, Alman Helvas Ali, mengkritisi minimnya komitmen politik pemerintah Indonesia dalam proyek pengembangan jet tempur KFX/IFX atau KF-21 Boramae dengan Korea Selatan (Korsel).
Pada proyek ini, Korsel berkewajiban menanggung 60 persen cost share, Indonesia 20 persen, dan kontraktor Korea Aerospace Industries (KAI) 20 persen. Indonesia diminta untuk melunasi Rp14 triliun pada 2026, sementara pada 2024 pemerintah hanya mengalokasikan Rp1,25 triliun untuk cost share.
“Industri dirgantara, baik pesawat komersil atau tempur, tidak bisa lepas dari politik karena membutuhkan modal yang besar. Kalau pemerintah bisa menganggarkan pemindahan IKN (Ibu Kota Negara) sampai Rp31 triliun lebih, maka hanya persoalan komitmen politik saja untuk mengeluarkan Rp7 triliun untuk membayar cost-share,” kata Alman pada forum diskusi yang digelar di ASTHA District, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2023).
1. Dukungan politik sangat penting
Lebih lanjut, Alman menceritakan bagaimana industri dirgantara Amerika Serikat (AS) dan Prancis bisa sukses saat ini. Kunci keberhasilannya adalah dukungan politik dari pemerintah.
Saat Presiden Barack Obama mengunjungi Indonesia, dia pun menawarkan pesawat Boeing. Hal sama juga dilakukan oleh Presiden Emmanuel Macron, yang menawarkan kepada Indonesia produk Airbus.
“Jadi percuma kalau pasar dibuka atau pasarnya ada, tapi gak ada dukungan politik,” kata dia.
2. Membangun industri dirgantara tidak mudah dan mahal
Alman turut menuturkan bahwa membangun industri dirgantara bukan sesuatu yang mudah. Paling tidak, dibutuhkan waktu 15 tahun dari konsep perencanaan sampai produksi. Karena waktu yang panjang, maka yang diperlukan adalah komitmen bangsa bukan hanya komitmen politik.
Di samping itu, biaya yang dibutuhkan juga tidak murah, sehingga sangat wajar jika banyak negara berkolaborasi dalam mengembangkan industri pertahanannya.
“Hanya Amerika yang sudah bisa mengembangkan industrinya secara mandiri. Inggris dan Italia sedang membuat jet tempur generasi keenam. Jadi wajar kalau Korsel mencari mitra asing dalam mengembangkan KFX/IFX, dalam hal ini adalah Indonesia,” tutur Alman.
3. Harap Presiden Indonesia berikutnya bisa berkomitmen
Menjelang tahun politik 2024, Alman pun berharap pemerintahan baru bisa berkomitmen dalam mengembangkan industri dirgantara tanah air.
“Salah satu konsekuensi dari keterlambatan cost share adalah transfer teknologi akan delay. Jadi ya bagaimana sikap politik pemerintah baru? Apakah akan full support atau tidak? Harus ditekankan kalau ini program bangsa, bukan program Pak Jokowi atau Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), atau program presiden berikutnya,” harapnya.