Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mengatakan hingga kini pihaknya belum bisa menyimpulkan, kerusuhan di Wamena, Papua, pada Februari 2023 masuk kategori pelanggaran HAM. Hal tersebut lantaran data-data yang dikumpulkan masih dianalisis.
Ketua Komisioner Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan kantor perwakilan Komnas HAM di Papua sudah melakukan pemantauan awal pada 24 Februari 2023 sampau 28 Februari 2023. Penyelidikan awal itu kembali dilanjutkan pada 6-11 Maret 2023. Kini, tim Komnas HAM Jakarta giliran turun ke Wamena.
"Tugas Komnas HAM dalam pemantauan itu kan membuktikan terjadi atau tidak pelanggaran HAM, termasuk dugaan apabila ada pelanggaran HAM yang berat. Maka sampai saat ini pemantauannya belum konklusif, bukan berarti tidak dilakukan pengumpulan data," ungkap Atnike saat diskusi virtual bertajuk Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan, yang dikutip dari YouTube, Rabu (15/3/2023).
Ia mengatakan Komnas HAM sudah bertemu beberapa pihak, baik Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, Bupati Jayawijaya, Kapolres, Dandim, korban serta saksi-saksi. Atnike mengatakan pada tahap kesimpulan apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak, maka Komnas HAM harus menunggu hingga pengumpulan data rampung.
"Komnas HAM biasanya akan mengambil kesimpulan apakah ada pelanggaran HAM, termasuk memberikan sejumlah rekomendasi. Termasuk bila korban divisum, maka Komnas HAM harus meminta kepada aparat penegak hukum untuk melakukan visum," tutur dia.
Ia mengatakan meski di media sudah terdapat sejumlah analisis terkait peristiwa Wamena, namun Komnas HAM tak bisa berpegang pada data tersebut. Mereka harus memverifikasi langsung bukti dan kesaksian yang ada.
Di sisi lain, Atnike turut menyoroti adanya konflik sosial budaya yang terjadi di Wamena. "Peristiwa di Wamena ini, dari informasi yang beredar di publik adalah konflik horizontal yang dipicu isu adanya penculikan lalu menjadi konflik antara orang Papua dengan suku Batak," katanya.
Apa masukan yang bisa diberikan Komnas HAM untuk mencari solusi terhadap konflik sosial budaya di Papua?