KontraS: Pemilu 2024 Belum Bebas Intimidasi-Kekerasan

Jakarta, IDN Times - Hasil analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan pelaksanaan Pemilu 2024 belum bebas dari fenomena intimidasi dan kekerasan.
Pemilu yang diwacanakan riang gembira disebut tak sesuai dengan realita di lapangan. Berbagai kasus intimidasi hingga kekerasan yang berkaitan dengan kepentingan politik elektoral masih terus mewarnai jalannya pemilu, bahkan hingga pascapemilu.
“Kami menemukan setidaknya 18 peristiwa berkaitan dengan kekerasan (politically motivated violence) dengan rincian penganiayaan 13 peristiwa, bentrokan 5 peristiwa dan intimidasi 8 peristiwa,” kata Wakil Koordinator Kontras Andi Rezaldy dalam konferensi pers, Jumat (23/2/2024).
1. Ada 80 korban luka dan empat meninggal dunia

Dari 18 peristiwa kekerasan itu termasuk penganiayaan, bentrokan, dan intimidasi, memakan 80 korban luka-luka dan empat meninggal dunia.
Salah satu contoh kasus yang mencuat yakni pada simpatisan capres-cawapres Ganjar-Mahfud yang meninggal karena diduga dianiaya oleh pendukung dari pasangan calon nomor urut dua di Sleman Yogyakarta.
“Selain itu, berdasarkan pemantauan kami, terdapat setidaknya 4 kasus bentrokan yang terjadi di Pulau Papua, salah satunya yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, menimbulkan setidaknya 62 korban luka-luka disebabkan oleh perebutan suara caleg,” kata dia.
2. Potensi terjadinya kekerasan selama proses pemilu masih mengintai

Meski pencoblosan telah usai, Andi mengatakan, keberlanjutan potensi kekerasan dan bentrokan masih menjadi ancaman. Itu karena proses pemilu khususnya rekapitulasi, pengumuman resmi oleh KPU hingga sengketa belum rampung hingga saat ini.
“Maka, penting untuk mengantisipasi berbagai bentuk potensi peristiwa tersebut,” ujarnya.
3. Pembatasan kebebasan berekspresi selama pemilu

Andi mengatakan, pihaknya juga menyoroti terkekangnya kebebasan berekspresi selama Pemilu, dengan banyak pelaporan terhadap kritisisme terhadap kecurangan. Fenomena ini mencoreng kebebasan dan hak asasi manusia dalam konteks gelaran demokrasi lima tahunan.
“Berbagai pelaporan dilakukan kepada mereka yang kritis menyuarakan pendapat, khususnya mengenai kecurangan," katanya.
Salah satu yang mencuat, yakni tindakan pelaporan oleh Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) yang melaporkan tiga aktor film Dirty Vote yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti serta sutradara Dandhy Laksono ke Mabes Polri.
"Selain itu, penulis buku ‘Kronik Penculikan’ tak luput dari objek pelaporan ke Bawaslu karena dinilai telah melakukan black campaign,” ujar Andi.