Jakarta, IDN Times - Azan subuh baru saja berkumandang. Matahari masih tidur di peraduan ketika puluhan orang yang mengaku pasukan Cakrabirawa menyambangi rumah kediaman sehari-hari Jenderal Ahmad Yani di Jalan Lembang No. 58, Menteng, Jakarta Pusat, 55 tahun silam, tepatnya 1 Oktober 1965.
Yani saat itu merupakan salah satu pucuk pimpinan TNI. Jabatannya Menteri Panglima TNI Angkatan Darat. Ia satu di antara jenderal yang menjadi incaran Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Ketika peristiwa kelam itu terjadi, Yani masih tidur. Sang istri, Yayu Rulia Sutowiryo, tidak ada di rumah tersebut. Ia bermalam di kediaman resmi Menteri Panglima Angkatan Darat di Jalan Taman Surapati. Yayu memiliki kebiasaan khusus tirakatan menjelang hari kelahirannya. Karenanya ia memilih mengungsi ke rumah dinas yang jaraknya tidak sampai satu kilometer dari tempat tinggalnya sehari-hari.
Dalam buku yang ditulisnya pada 1981 lalu, Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan, Yayu baru mengetahui peristiwa yang menimpa suaminya pukul 05.00 WIB, atau 35 menit setelah kejadian penembakan dan penculikan.
Dari informasi yang didapatnya, Ahmad Yani memang tidak langsung meninggal dunia saat itu. Ia masih bernafas. Ketika meregang nyawa akibat berondongan peluru yang menembus tubuhnya, Ahmad Yani, masih sempat menyampaikan dua kata terakhir.