(Sebuat pesawat Emirates Airlines mendarat di Landasan Pacu atau Runway 3 setelah resmi dioperasikan pertama kalinya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (20/12/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
PT Gapura Angkasa, lanjut Hardie, masuk pada Agustus tahun ini dan secara otomatis membuat kontrak baru para pekerja. Kata Hardie, alasan dia dan tiga rekannya di-PHK karena dianggap sebagai provokator untuk membuat para pekerja lainnya menuntut hak kenaikan status dari pekerja kontrak ke pekerja tetap.
“Kita menuntut bipartit untuk status kita diangkat sebagai karyawan. Selama ini kita hanya kontrak setiap tahun kita kontrak,” ujarnya.
Rencananya aksi mogok kerja itu akan terus dilakukan hingga PT Gapura Angkasa mau melakukan bipartit, jika tidak tentunya mogok kerja yang dilakukan itu mampu melumpuhkan dan mengganggu aktivitas penerbangan. Apalagi para pekerja itu juga berposisi di RAM Handling, Loading Master, GSE Operator, yang diklaim juga FSPMI sebagai posisi vital di Ground Handling maupun di bandara.
“Dampaknya sangat luas, operasional dan penumpang akan menumpuk. Itu di kita tidak hanya Garuda saja, itu ada Korean Airlines, China Airlines, Japan Airlines, dan di Gapura Angkasa itu mempunyai 50 maskapai penerbangan,” jelasnya.
Sementara itu, kuasa hukum empat pekerja yang di-PHK, Tubagus Ikbal Nafinur Aziz menambahkan, pihaknya juga sudah menyurati Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, DPR RI, DPRD Kota Tangerang dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Tangerang.
“Kemudian sampai surat balasan PT Gapura Angkasa melalui kuasa hukumnya itu, tidak bersedia untuk melakukan perundingan dengan alasan klien kami tidak bekerja di PT Gapura Angkasa, tetapi di PT GDPS. Padahal kalau kita berpikir secara logika hukum tenaga pekerja ini memang melakukan kontrak ke PT GDPS, tetapi ada hubungan hukum di dalam kondisi ini klien kami mempunyai hubungan hukum dengan PT Gapura Angkasa,” ucap Tubagus.