Rektor IPB Arif Satria (instagram.com/arifsatria10)
Rektor IPB Arif Satria mengingatkan, yang perlu menjadi catatan adalah jangan sampai ruang adaptasi yang diberikan Kurikulum Merdeka, kemudian terbentur dengan evaluasi akhir yang diseragamkan--semisal ujian nasional zaman dulu, sehingga esensi dari adaptasi tersebut menjadi hilang. Tentunya evaluasi kemajuan studi siswa harus didasarkan atas proses pembelajaran yang dijalaninya selama menempuh kondisi darurat tersebut.
Bila kebijakan ini juga diterapkan di perguruan tinggi, kata Arif Satria, instrumen-instrumen pendukung seperti Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dan juga assessment pada saat akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi atau Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), juga harus mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi.
Sementara, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto, sepakat penyesuaian kurikulum memang diperlukan di masa pandemik saat ini, untuk mengejar ketertinggalan dan adanya learning losses.
Namun, dia mengingatkan, “Secara konseptual Kurikulum Merdeka memang menarik, tetapi secara implementasi tidak seindah dan semudah yang dibayangkan. Konsep Kampus Merdeka sudah diterapkan di level universitas, meskipun di level universitas tetapi implementasi tidak semudah yang dibayangkan,” ujar Teguh, kepada IDN Times.
Menurut Teguh, kendala yang mungkin muncul di antaranya: Pemahaman konsep Kampus Merdeka oleh para guru tidak mudah, mengingat kualitas dari guru di Indonesia sangat tidak merata. Hal yang sama juga terjadi di level universitas; kemampuan guru untuk menjalankan kampus merdeka berbeda-beda satu sama lainnya, sehingga bisa terjadi learning gap yang sangat besar; Kebijakan harus diikuti petunjuk teknis yang lebih implementatif di level sekolah. Harus ada penjelasan yang jelas antara gagasan ke konsep, kebijakan, hingga berujung ke petunjuk teknis.
“Kurikulum hanya merupakan satu bagian dari sistem pendidikan, sehingga untuk menjawab berbagai isu terkait learning losses di masa pandemik, learning gap antar peserta didik, dan ketertinggalan kualitas pendidikan di Indonesia perlu upaya besar dan substantif untuk memperbaiki,” ujar Teguh, yang saat menjalani program Eisenhower Fellowships di Amerika Serikat, mendalami soal liberal art, yang senapas konsepnya dengan Kampus Merdeka Belajar.
Dukungan juga datang dari Rektor Universitas Bandar Lampung, Yusuf Sulvarano Barusman. “Setuju dengan kurikulum Merdeka Belajar. Beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan: Pendidikan kita sangat tersentralis dan birokratis. Jadi selalu hambatannya ada di implementasi mulai dari sosialisasi sampai dengan eksekusi. Jika kebijakan ini sebagai respons pandemik, khawatir tidak akan efektif,” ujar Yusuf.
Dia juga mengingatkan kondisi pendidikan di Indonesia yang timpang, baik karena kondisi geografis maupun sosial ekonomi. “Termasuk kesiapan guru, manajemen sekolah, orang tua dan stakeholder lain, khususnya pemerintah daerah,” kata Yusuf.
Kemendikbud, sebagaimana disampaikan Menteri Nadiem, mengajak semua pihak melihat petunjuk teknis dan informasi lengkap di Platform Merdeka Mengajar.