Menurut Novanto, yang berperan paling dominan dalam proses penganggaran proyek KTP Elektronik adalah Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah. Bukan di DPR. Parlemen baru berperan ketika ada perubahan sumber pembiayaan dari pinjaman hibah luar negeri menjadi APBN murni.
Kalau pun ada beberapa pertemuan yang ia ikuti, tidak serta-merta membuktikan mantan Ketua DPR tersebut ikut campur dalam proses penganggaran. Apalagi hingga meminta fee sebesar 5 persen dari total anggaran proyek.
"Peran pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri lah yang paling dominan dalam pembahasan e-KTP, khususnya dalam sumber pembiayaan. Bukan DPR (yang paling dominan). Mengapa demikian? Pertama, sumber pembiayaan penerapan e-KTP berasal dari pinjaman luar negeri atau PHLN," ujar Novanto.
Pemerintah pula, kata dia, yang mengusulkan agar sumber pembiayaannya diubah dari yang semula hibah pinjaman luar negeri menjadi APBN murni. Di sinilah peran DPR masuk.
"Tapi, itu pun hanya membutuhkan persetujuan, Yang Mulia," kata Novanto.
Terkait dengan pemberian fee dari Kementerian Dalam Negeri dan para pengusaha konsorsium proyek e-KTP dilakukan tanpa sepengetahuan dirinya. Pembahasan itu dilakukan antara Andi Agustinus, Irman (mantan Dirjen Kependudukan Sipil), Diah Anggaraeni (Sekjen di Kemendagri) dan almarhum Burhanudin Napitupulu (Ketua Komisi II) pada tahun 2010 lalu.
"Dengan demikian, sangat jelas bahwa kesepakatan pemberiaan fee pada Komisi II DPR terjadi tanpa sepengetahuan saya. Apalagi kesepakatan itu terjadi sebelum Andi Agustinus mengenalkan saya kepada Irman di Hotel Gran Melia," katanya lagi.
Ia pun membantah pernah menjadi insiator dari permintaan fee tersebut.