Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pemimpin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi pemimpin (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya sih...

  • Partai politik harus dekat dengan masyarakat, bukan hanya saat pemilu
  • Kedekatan parpol dengan masyarakat dapat mencegah politik transaksional dan praktik politik uang
  • Pemerintah perlu mengubah sistem pemilu nasional agar parpol hadir lebih sering di masyarakat
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan menilai partai politik harusnya bisa hadir tidak hanya jelang momen pemilihan umum (pemilu). Ia mengatakan, kedekatan parpol dengan masyarakat tersebut bisa mencegah praktik politik uang dalam pemilu.

“Partai itu hadir kalau ada pemilu. Seharusnya kan tak hanya pemilu. Dan pemilu kita lima tahunan. Jadi parpol itu hadir setiap lima tahun, maka tahun keempat partai-partai deketin masyarakat. Setelah tahun kelima lupain dulu kan. Tahun keempat ketemu lagi,” ujar Djayadi dalam acara Indonesia Electoral Reform Outlook Forum 2024 yang diadakan Perludem di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

1. Tidak dekatnya masyarakat dengan parpol menimbulkan politik transaksional

Warga menunjukkan model surat suara pemilihan presiden saat simulasi pencoblosan pemilu di TPS 31 Penancangan Kota Serang, Banten, Selasa (30/1/2024). (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Akademisi Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu mengaggap, hubungan parpol dengan masyarakat yang tidak dekat menimbulkan politik transaksional. Masyarakat berpandangan apa yang diberikan parpol, jika mereka mau mendukung.

“Jadi tak ada hubungan (parpol dan masyarakat) yang ajeg. Akibatnya salah satunya hubungannya jadi transaksional. Lu kemana aja selama ini? Kenapa tiba-tiba minta suara saya. Maka, mana bagian saya? Bagi-bagi rezeki,” tutur dia. 

2. Pemilu serentak bikin parpol dengan masyarakat kurang dekat

Pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 15 Kelurahan Parangtambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Rabu (4/12/2024). (IDN Times/Ashrawi Muin)

Djayadi berpandangan, pemerintah juga perlu mengubah sistem pemilu nasional agar tidak digelar dengan pilkada. Sehingga, akan membuat parpol hadir lebih sering di masyarakat. 

“Setelah calon ditemukan lalu mereka bisa lepas. Jadi partai tak punya kepentingan untuk tingkat lokal. Tapi kalau digabungkan antara pemilu legislatif dan eksekutif lokal maka partai harus bergerak karena ada aspek legislatif di tingkat DPRD, Provinsi maupun Kabupaten. Jadi, dengan demikian hubungan partai dan masyarakat diharapkan bisa lebih kuat,” tutur dia. 

3. Koordinasi pusat dengan daerah lebih efektif

Ilustrasi anggota legislatif dipilih lewat Pemilihan Legislatif (Pileg) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, ia beranggapan dipisahnya pemilu dan pilkada justru bisa membuat pemerintah pusat dan daerah lebih efektif. Calon kepala daerah yang ingin maju di pilkada setelah pilpres tentu akan berusaha menyamakan visi dan misi.

"Ada logika sekuensial yang linier dari pusat ke daerah. Misalnya dimulai dari terpilihnya presiden, presiden punya visi misi. Setelah itu, kita mau pemilu gubernur, gubernur bisa bikin visi misi sesuai dengan atau disesuaikan dengan visi misi presiden. Setelah itu ada pemilu kabupaten kota calon wali kota, bupati bisa menyesuaikan visi misinya dengan visi misi dari gubernur dan dari presiden yang sudah terpilih," jelasnya.

"Sehingga ada sekuensi programatik kalau mau dilihat dari sisi itu sehingga yang diinginkan untuk efektivitas pemerintahan bisa berlangsung," imbuh dia.

Editorial Team