Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla (JK) (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Azis menegaskan, ramainya isu mafia tanah bukan sekadar pemberitaan media, tetapi masalah struktural yang diduga melibatkan oknum-oknum internal lembaga pertanahan di masa lalu. Tumpang tindih data, kurangnya transparansi, hingga praktik percaloan menjadi sumber ketidakpastian hukum sekaligus penyebab hilangnya kepercayaan publik terhadap negara.
Ia mengingatkan pesan lama Presiden RI, Prabowo Subianto tentang paradoks Indonesia sebagai negeri yang luas tetapi penguasaan tanahnya timpang. Dalam Asta Cita, reforma agraria ditempatkan sebagai prioritas untuk mengembalikan tanah sebagai ruang hidup rakyat, bukan sekadar aset ekonomi.
Kasus yang menimpa Jusuf Kalla, ungkap Azis, merupakan produk administrasi lama BPN, bukan kejadian tunggal. Data nasional pada 2024 mencatat 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan lebih dari 24 ribu perkara pertanahan. Pada 2025 pun belum membaik: hingga Oktober, ada 6.015 laporan dan baru separuhnya terselesaikan.
“Artinya, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum maupun konflik sosial di masa depan,” katanya.
Azis menyebut, yang paling memprihatinkan adalah posisi rakyat kecil. Sepanjang 2024, terdapat lebih dari 2.161 kasus pertanahan yang menjerat masyarakat akar rumput serta 295 konflik agraria di berbagai wilayah.
“Jika seorang tokoh nasional saja bisa menjadi korban, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat biasa yang selama ini memilih diam karena tidak tahu cara mengadu atau merasa tidak punya kekuatan melawan,” ujarnya.