Anak Terlibat Kekerasan Seksual, Dosen UNESA: Emosi Lemah dan Labil
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan seksual terus mengintai anak, baik di lingkungan tempat tinggal hingga sekolah. Tidak sedikit pula anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada teman sebayanya.
Dosen PPKn Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Raden Roro Nanik S, mengatakan salah satu pemicu anak dan remaja bisa melakukan kekerasan karena emosi yang lemah atau faktor labil.
Banyak ditemukan juga kasus kekerasan di sekolah belum ditanggapi serius dan kekerasan kerap dianggap sebagai proses dari perkembangan peserta didik.
"Dari mindset itu tidak ada tindak lanjut dari pihak sekolah untuk mengatasi permasalahan kekerasan sehingga kekerasan tersebut lebih sering terjadi hingga berulang-ulang,” kata dia dilansir dari situs resmi UNESA, Kamis (22/6/2023).
1. Perlu edukasi pada peserta didik, orang tua hingga seluruh warga sekolah
Raden mengungkapkan perlu adanya tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di sekolah. Sekolah harus mengedukasi secara serius, baik peserta didik, orang tua, dan semua warga sekolah terkait kekerasan seksual. Hal tersebut bisa dilakukan kepala sekolah atau guru atau mendatangkan narasumber yang berkompeten dalam bidangnya.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Pengungsi Belum Ditangani Optimal
2. Media afirmasi dalam bentuk poster
Sekolah juga dapat memasang media afirmasi dalam bentuk poster atau banner di lingkungan sekolah, bahkan saat penerimaan peserta didik baru atau PPDB. Ketiga, perananan penting guru dalam proses pembelajaran.
Editor’s picks
Sebagai tenaga pendidik, guru juga harus mengembangkan potensi dasar peserta didik secara optimal sehingga menciptakan suasana kelas yang kondusif.
“Guru juga harus membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan yang baik antar sesama temannya sehingga menghindari perselisihan serta konflik di dunia pendidikan. Sehingga akan muncul kerja sama yang baik dengan peserta didik dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar,” kata Raden.
3. Sekolah bisa bentuk bimbingan hingga minta bantuan psikolog
Sekolah dapat membentuk pembinaan seperti bimbingan konseling (BK). Jika dinilai masih kurang maksimal, sekolah juga bisa meminta saran psikolog yang ada di Puskesmas setempat.
“Pemberian sanksi akan lebih baik jika sebelumnya sekolah sudah membuatnya secara tertulis dan tersampaikan, sehingga akan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dan menghasilkan mutu lulusan yang baik,” ujarnya.
4. Kewajiban sekolah membentuk satgas PPKS
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNESA, Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba, mengungkapkan landasan hukum tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sudah banyak diterbitkan, termasuk dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
"Selain kewajiban sekolah dalam membentuk satgas PPKS, pemerintah daerah juga harus membentuk gugus pencegahan tindakan kekerasan sehingga proteksi terkait PPKS semakin terkontrol," katanya.
Baca Juga: Dampak Negatif Kekerasan Verbal pada Anak, Orang Tua Harus Bijak