Jika COVID-19 Ternyata Airborne, Pakar: Jaga Jarak Jadi Tidak Relevan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya menyatakan COVID-19 tidak bisa menular dari udara atau airborne. Namun baru-baru ini para ahli menuntut WHO mengubah pernyataan tersebut karena mereka menemukan bukti bahwa COVID-19 ternyata bisa menular lewat udara.
Dilansir New York Times, lewat surat terbuka kepada WHO pada Sabtu (4/7/2020), sebanyak 239 ilmuwan dari 32 negara menuntut WHO mengganti pernyataan mengenai kemampuan airborne dari virus penyebab COVID-19 atau SARS-CoV-2.
Para ilmuwan mengklaim memiliki bukti bahwa tidak semua droplet dari bersin dan batuk langsung jatuh karena ada partikel kecil yang melayang di udara dan bisa menginfeksi orang lain. Para ahli yang terlibat mengatakan akan merilis bukti tersebut dalam publikasi ilmiah pekan depan.
Hal senada juga disampaikan Profesor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir. Menurutnya permasalahan COVID-19 aibone sudah beberapa kali dibahas.
“Jadi memang sudah berapa kali bilang, kemungkinan risiko itu lebih besar kalau dia (droplet) di dalam ruangan,” kata Profesor Sulfikar Amir kepada IDN Times, Senin (6/7/2020).
1. Aerosol bisa terbang lama di udara
Profesor Sulfikar menjelaskan bahwa virus COVID-19 bisa masuk kategori aerosol. Aerosol adalah partikel padat atau cair yang sangat halus di udara (fine particle).
Contoh alami aerosol adalah asap dan kabut. Selain itu aerosol juga bisa ditemukan pada parfum, hair spray, dan asap rokok.
“Jadi kita ngobrol keluar droplet, lalu kita pergi, nah itu kan ada bagian yang sangat kecil yang disebut aerosol dan dia bisa terbang dan bertahan lama di udara,” ujarnya.
2. Aerosol lebih berisiko di ruangan kecil dan berpendingin udara
Ukuran aerosol yang kecil inilah yang membuat dia bisa terbang lama di udara dan masuk ke dalam tubuh manusia. Dia menjelaskan bahwa kini virus corona bisa bermutasi menjadi ukuran yang kecil sehingga bisa masuk ke dalam aerosol.
Editor’s picks
Selain bisa terbang dalam durasi yang lama, aerosol juga menjadi lebih berisiko jika berada di ruangan kecil dan berpendingin udara, karena dia akan mudah berembus.
“Jadi dia terbang kemana-mana muter,” ujarnya.
3. Menjaga jarak jadi tak relevan
Sulfikar berpendapat aturan menjaga jarak menjadi tidak relevan lagi jika di suatu ruangan ada airborne. Pasalnya kita tidak tahu siapa yang sebelumnya berada di suatu ruangan serta apakah dia memakai masker atau tidak dan terinfeksi COVID-19 atau tidak.
“Kalau ada orang lain datang di situ dia sendiri saja di situ, dia pikir dia aman karena tidak ada orang sekitarnya dia buka maskernya, nah ternyata masih ada virus, masih muter-muter belum jatuh ke lantai, kita merasa aman karena tidak ada orang di sekitarnya,” katanya.
4. Ilmuwan minta WHO mengganti klaim airborne
Sebelumnya, pada 29 Juni 2020, melalui publikasi resmi, WHO menjelaskan dugaan COVID-19 airborne.
“Transmisi udara (airborne) dari virus penyebab COVID-19 mungkin terjadi dalam kondisi dan pengaturan di mana prosedur pembuatan aerosol (AGP) dilakukan,” tulis WHO. Masih tidak jelas apakah aerosol yang dihasilkan oleh terapi nebulizer atau high-flow oxygen menular atau tidak, mengingat data masih terbatas.”
Namun baru-baru ini sejumlah ilmuwan mengatakan klaim itu perlu diganti. Mereka menyurati WHO namun pengajuan tersebut belum disetujui. WHO berargumen bahwa belum ada bukti yang menjelaskan kemungkinan penularan lewat udara.
“Terutama dalam beberapa bulan terakhir, kamu telah menyatakan beberapa kali bahwa kamu menganggap transmisi airborne memungkinkan, tapi yang jelas tidak didukung oleh bukti yang solid. Ada perbedatan kuat mengenai hal ini,” kata Kepala teknis untuk pencegahan infeksi WHO Dr. Benedetta Allegranzi seperti dikutip dari New York Times.
Baca Juga: 239 Ahli di Seluruh Dunia Klaim COVID-19 Airborne, Menular lewat Udara