Kemen PPPA Dorong Praktik Sunat Perempuan Dihapus: Itu Kekerasan!
![Kemen PPPA Dorong Praktik Sunat Perempuan Dihapus: Itu Kekerasan!](https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20231206/img-20231206-wa0002-09821b48f96ad27ffded955a01b96b20_600x400.jpg)
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Fenomena sunat perempuan atau Female Genital Mutilation/Cutting (FGMC) masih terus dilakukan keluarga di beberapa daerah di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) turut menyoroti praktik ini.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kemen PPPA, Rohika Kurniadi Sari, mengatakan, sunat pada perempuan atau anak perempuan adalah praktik berbahaya. Ini juga merupakan bentuk pelanggaran hak dan kekerasan.
"Sunat pada perempuan atau anak perempuan dengan pemotongan dan pelukaan adalah praktik berbahaya bentuk pelanggaran hak perempuan dan anak, dan termasuk kekerasan berbasis gender," kata Rohika dalam keterangannya, Rabu (6/12/2023).
Rohika mengatakan, tahun 2013 menjadi tonggak pergerakan Kemen PPPA untuk meninjau dampak dari praktik sunat pada anak perempuan.
Sejak tahun 2016, Kemen PPPA bekerja sama dengan UNFPA telah melakukan rangkaian advokasi dan sosialisasi pencegahan P2GP diperkuat dengan disusunnya roadmap dan Rencana Aksi 2030 tentang penurunan dan penghapusan praktik P2GP di Indonesia.
Baca Juga: Peringatan Hari Ibu 2023, Kemen PPPA Gelar Acara Merayakan Perempuan
1. Pemerintah sudah keluarkan kebijakan
Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, secara nasional persentase anak perempuan yang pernah disunat sangat tinggi, yakni mencapai 51,2 persen.
Dia mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 yang mengatur tentang Sunat Perempuan. Selain itu, pemerintah juga mendorong gerakan Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) terus disosialisasikan.
Baca Juga: 4 Metode Sunat yang Tidak Sakit, Bisa dengan Sunat Laser
2. Perlu pendekatan dengan libatkan pandangan anak dan remaja
Menurut Rohika, pendekatan baru perlu dipikirkan untuk mengatasi praktik sunat perempuan. Jika selama ini pendekatan yang dilakukan adalah dari perspektif agama dan kesehatan, maka ke depan perlu pendekatan dari perspektif anak dan remaja serta tokoh adat atau budayawan.
Editor’s picks
Mereka perlu aktif dilibatkan guna bersinergi bersama dalam upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan P2GP.
“Selama ini kami telah bersinergi dengan ulama dan ulama perempuan, pemerintah pusat dan daerah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Perspektif dari sisi remaja atau anak perempuan dan budaya belum dikupas sehingga perlu juga melibatkan mereka dalam advokasi. Kami berharap dukungan dan sinergi bersama seluruh pihak,” katanya.
Baca Juga: Kemen PPPA: 16 HAKTP Jadi Momen Refleksi Upaya yang Belum Terlaksana
3. Sunat perempuan tak dibutuhkan
Diakui Rohika, pencegahan dan penghapusan praktik sunat perempuan menghadapi banyak hambatan. Dari sisi agama, ada yang mengungkapkan jika praktik sunat perempuan dipercaya dapat memuliakan perempuan atau makrumah walaupun secara medis jelas tidak ada manfaatnya untuk perempuan.
Dokter Spesialis Obgyn, Muhammad Fadli, mengatakan, tidak seperti pada laki-laki sunat amat dibutuhkan untuk kebersihan (hygiene). Namun, perempuan tidak memerlukannya karena anatomi kelamin laki-laki berbeda dengan perempuan.
“Khitan pada laki-laki menghilangkan preputium atau kulit yang menutupi kelamin yang dapat menghambat saluran berkemih dan menyisakan urine di kulit sehingga berpotensi besar menyebabkan infeksi saluran kemih. Sebaliknya, kelamin perempuan tidak tertutupi oleh preputium atau sudah terbuka sejak lahir sehingga saluran kemih tidak terhambat dan membersihkannya lebih mudah," kata dia.
"Perlukaan seperti sunat pada perempuan justru akan mengakibatkan masalah medis baru seperti nyeri hebat, hingga pendarahan terutama bagian klitoris,” lanjut dia.
4. Ulama sebut praktik ini malah rugikan perempuan
Sementara, Ulama Perempuan sekaligus Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIG), Nur Rofiah, menekankan dalam Al-Quran dan hadist tidak pernah secara tegas atau jelas menyatakan hukum sunat bagi perempuan.
Hal ini menurutnya malah melahirkan pandangan dan tafsir berbeda-beda yang bias gender sehingga merugikan, menyakiti, bahkan membahayakan perempuan.
“Cara pandang yang melihat perempuan sebagai sumber fitnah, hasrat seksualnya perlu ditekan atau harus disucikan dengan sunat perempuan adalah akar dari tradisi berbahaya tersebut. Tidak satu pun manusia lahir sebagai subjek sekunder. Perempuan adalah makhluk yang utuh sama seperti laki-laki, yang membedakan hanyalah ketakwaan seseorang. Yang paling sedih tradisi itu (sunat perempuan) dilegitimas oleh agama, dan dianggap sebagai kebenaran karena itu terjadi dimana-mana,” ucap dia.
Baca Juga: Marak Kasus Kekerasan Anak, Kemen PPPA: Orangtua Harus Jadi Panutan