KemenPPPA Tekankan Pentingnya Perempuan Paham dan Sadar Hukum

Pilar pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan

Jakarta, IDN Times - Pengetahuan hukum penting bagi perempuan. Pasalnya perempuan kerap kali berhadapan dengan sistem masyarakat yang cenderung menempatkannya dalam posisi subordinat. Selain itu perempuan rentan kekerasan dan diskriminasi.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny Rosalin, mengungkapkan, pengetahuan dan pemahaman hukum yang baik akan membuat perempuan lebih percaya diri. Selain itu, sebagai kelompok rentan, perempuan jadi tidak mudah ditipu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

“Penyadaran hukum bagi perempuan adalah bagian dari upaya untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi. Jika perempuan Indonesia yang mencakup setengah dari penduduk Indonesia meningkat kesadaran hukumnya, maka diharapkan tercipta kondisi di mana perempuan merasa aman di tengah masyarakat. Hal yang terpenting, pembangunan literasi hukum bagi salah satu kelompok rentan dalam masyarakat yang sedang kita upayakan saat ini, akan berkontribusi dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik,” kata dia dalam keterangannya dilansir Senin (13/11/2023).

1. Sebagai pilar pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan

KemenPPPA Tekankan Pentingnya Perempuan Paham dan Sadar HukumDeputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Lenny N. Rosalin (dok. KemenPPPA)

Dia mengungkapkan, kesadaran hukum bagi perempuan tidak terlepas dari isu kesetaraan gender. Menurutnya, data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), hingga Indeks Kesenjangan Gender (IKG) masih menunjukkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki.

Lenny mencontohkan angka IPG tahun 2022 berhasil mencapai angka 91,63. Meski demikian angka ini mengindikasikan adanya kesenjangan gender pada hasil pembangunan, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

“Perempuan perlu terus memperluas pengetahuannya tentang hukum, jenis-jenis hukum, sistem hukum, proses hukum, lembaga-lembaga hukum, hak dan kewajiban hukum, serta pengetahuan tentang hak asasi manusia. Literasi kesadaran hukum ini penting dikuatkan sebagai pilar pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan itu sendiri. Tidak hanya itu, perempuan saat ini juga dituntut memiliki pemahaman hukum yang baik serta memiliki kemampuan untuk menggambarkan dan menjelaskan prinsip-prinsip hukum, norma-norma hukum, dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Baca Juga: KemenPPPA: Kesenjangan Gender Pengaruhi Angka Kematian Ibu dan Bayi

2. Satu dari empat perempuan alami kekerasan fisik atau seksual

KemenPPPA Tekankan Pentingnya Perempuan Paham dan Sadar HukumIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Perempuan juga masih rentan menjadi korban kekerasan, karena dari data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, sebesar 26,1 persen atau satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan.

Ada beberapa aturan yang dibuat terkait isu ini, mulai Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

3. Halangan implementasi hukum perlindungan perempuan

KemenPPPA Tekankan Pentingnya Perempuan Paham dan Sadar Hukumilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Uli Pangaribuan mengungkapkan meski sudah ada aturan hukumnya, tetap ada kendala pengimplementasian UU yang berkaitan dengan perlindungan perempuan contohnya UU TPKS maupun UU PKDRT.

Dari 75 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta pada 2022, hanya lima kasus yang berhasil lapor sampai tingkat kepolisian, sedangkan sisanya mendapatkan layanan konseling hukum, penanganan secara psikologis, rujukan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga layanan lainnya.

"Hal ini dikarenakan substansi UU TPKS masih banyak belum dipahami oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Pada saat kami melaporkan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), justru APH mendorong menggunakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kami sampaikan di dalam UU ITE tidak ada perlindungan dan pemenuhan hak korban,” kata Uli.

Baca Juga: Prabowo: Pemerintah RI Mendesak Kekerasan di Gaza Dihentikan

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya