Keterwakilan Perempuan di Parlemen Berkurang Dihambat Hal Ini

Perempuan alami diskriminasi hingga regulasi yang tak adil

Jakarta, IDN Times - Masyarakat Indonesia akan memberikan hak suaranya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari 2024 mendatang. Pemilu 2024 akan berlangsung untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD dan juga Presiden serta Wakil Presiden.

Perempuan juga terlibat dalam proses demokrasi ini, bukan hanya sebagai pemilih namun juga sebagai perwakilan yang akan melaju ke kursi parlemen.

Dukungan pada perempuan jadi perhatian, melihat saat ini keterwakilan perempuan di DPR terbilang minim. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan 22,5 persen keterwakilan perempuan di DPR. Namun, pada 2019 hanya 20,8 persen perempuan yang berhasil menduduki kursi DPR.

Untuk itu, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Iip Ilham Firman mengajak masyarakat untuk mendukung keterwakilan perempuan dengan memilih caleg perempuan.

“Pemilu 2024 ini merupakan kesempatan emas bagi masyarakat, khususnya perempuan, untuk melakukan percepatan dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia dengan mencapai 30 persen keterwakilan perempuan yang terpilih di parlemen,” kata Iip dalam diskusi media di KemenPPPA, dikutip Rabu (24/1/2024).

Baca Juga: Anggota Legislatif Perempuan Perlu Ditempatkan di Komisi Selain Isunya

1. Perempuan alami diskriminasi dan dianggap tabu ikut politik

Keterwakilan Perempuan di Parlemen Berkurang Dihambat Hal IniKPU Medan kebut penyortiran dan pelipatan suara di gedung logistik (Dok. Dodi for IDN Times)

Satu hal yang jadi tantangan utama perempuan untuk terjun ke dunia politik adalah budaya patriarki yang ada di Indonesia. Politik dianggap sebagai lahan maskulin yang lebih cocok dipertandingkan dan dikerjakan laki-laki.

Selain itu, jika melihat ke tingkat akar rumput masih banyak anggapan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik merupakan hal yang tabu. Belum lagi biaya politik di Indonesia tidak murah.

“Salah satunya yang menjadi tantangan utama bagi perempuan adalah biaya politik di Indonesia yang sangat tinggi, ditambah tidak mudahnya mereka untuk mendapatkan dana kampanye sehingga ini menjadi salah satu hambatan tidak hanya untuk perempuan tetapi juga laki-laki,”kata Iip.

2. Keterwakilan 30 persen suara perempuan diperjuangkan sejak 1998

Keterwakilan Perempuan di Parlemen Berkurang Dihambat Hal IniIlustrasi petugas KPPS, Rabu (9/12/2020). ANTARA FOTO/Arnas Padda

Keterwakilan perempuan di parlemen erat kaitannya dengan kebijakan afirmatif. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini bahkan mengatakan, perjuangan agar 30 persen perempuan bisa bertanding di dunia politik sudah disuarakan sejak 1998.

Perjuangan ini bertujuan memperoleh peluang dan kesempatan yang setara di bidang politik. Namun, hal ini bukan cuma soal keterwakilan saja, tapi bagaimana perjalanannya menuju keterpilihan perempuan.

“Adapun Kebijakan afirmasi adalah upaya menghadirkan kemurnian suara rakyat melalui keadilan dan kesetaraan politik laki-laki dan perempuan,” ujar Titi.

3. Keterwakilan perempuan di politik tergerus

Keterwakilan Perempuan di Parlemen Berkurang Dihambat Hal IniKPU Sulsel musnahkan surat suara rusak, Senin (22/1/2024). IDN Times/Dahrul Amri Lobubun

Saat ini, kata Titi, Indonesia mengalami musim gugur keterwakilan perempuan di politik. Pada penyelenggaraan Pemilu 2024, kata Titi, ada pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan sebesar 30 persen yang dilakukan pembulatan ke bawah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Padahal faktanya, pemilih perempuan terbukti memiliki loyalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun, loyalitasnya tidak berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan dalam parlemen dan kebijakan dari lembaga terkait,” kata Titi.

4. Politik transaksional seperti suap dan nomor urut jadi hambatan

Keterwakilan Perempuan di Parlemen Berkurang Dihambat Hal IniProses pengepakan surat suara di Kota Banda Aceh, Aceh. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Titi juga mengatakan, politik transaksional jadi hambatan eksistensi perempuan di politik. Jual beli nomor urut, jual beli suara, dan masih adanya praktik suap dalam penghitungan suara menjadikan perempuan politik makin tersisih.

Sistem politik dan sistem pemilu belum menghadirkan ekosistem kompetisi yang bersih dan sehat.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya