Koalisi HAM: Hukum Berat Para Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua!

Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi dipenjara seumur hidup

Jakarta, IDN Times - Mayor Inf Helmanto FD, yang merupakan satu dari enam oknum prajurit TNI terdakwa kasus mutilasi empat warga sipil di Mimika, Papua pada akhir Agustus 2022 lalu divonis penjara seumur hidup. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM menanggapi putusan ini dengan memberi apresiasi.

Helmanto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pembunuhan berencana secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 340 Jo.55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dengan hukuman penjara seumur hidup. 

"Tidak sampai di situ, Terdakwa juga dipecat dari kesatuannya di Tentara Nasional Indonesia. Berdasarkan putusan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM mengapresiasi bunyi putusan tersebut," tulis Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM dalam keterangan resminya, Rabu (25/1/2023).

Baca Juga: HFD, Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua Dipenjara Seumur Hidup

1. Koalisi akan terus melakukan pengawalan

Koalisi HAM: Hukum Berat Para Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua!Mayor HFD saat sidang putusan di Pengadilan Militer Jayapura, IDN Times/ Istimewa

Putusan terhadap Mayor Dakhi tersebut dianggap sudah semestinya dapat jadi acuan pada delapan terdakwa lainnya yang masih akan menjalani persidangan yang terdiri dari empat pelaku militer dan empat pelaku sipil.

"Koalisi akan terus melakukan pengawalan terhadap seluruh rangkaian proses persidangan agar keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya mendapatkan keadilan pada kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Timika, Papua," tulis Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM.

2. Hakim putuskan beberapa poin

Koalisi HAM: Hukum Berat Para Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua!Mayor HFD didampingi penasehat hukumnya, IDN Times/ Istimewa

Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang dipimpin Hakim Ketua Kolonel Chk Sultan, didampingi Hakim Anggota I Kolonel Chk Agus Husin, dan Hakim Anggota II Kolonel Chk Prastiti Siswayani memutuskan beberapa poin.

Pertama unsur pidana penadahan sebagaimana pada dakawaan Primair pasal 480 ke-2 Jo 55 ayat (1) KUHP tidak terbukti. Kemudian unsur tindak pidana Pencurian dengan kekerasan sebagaimana pada dakwaan subsidair diatur dalam Pasal 365 ayat (4) jo 55 ayat (1) KUHP juga tidak terbukti.

Ketiga, terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP Jo.55 Ayat 1 Ke-1  (Dakwaan Lebih Subsider). Keempat, Pasal 121 Ayat 1 KUHPM terbukti/Dakwaan Alternatif serta hal-hal yang memberatkan antara lain adalah perbuatan terdakwa meresahkan dan memberikan trauma kepada korban dan masyarakat, merusak hubungan antara TNI dan masyarakat Papua, merusak citra TNI di masyarakat dan perbuatan terdakwa sadis, tidak berperikemanusiaan dan melanggar HAM.

3. Jadi angin segar perjuangan keluarga korban mutilasi

Koalisi HAM: Hukum Berat Para Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua!Ketiga terdakwa kasus pembunuhan yang disertai mutilasi saat diserahkan kepada pihak Pengadilan Negeri Timika, IDN Times/ Istimewa

Walaupun belum berkekuatan hukum tetap, putusan ini dianggap koalisi masyarakat sipil sebagai angin segar bagi perjuangan keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya.

Sebab, hukuman tergolong berat dan hakim berani untuk memutus perkara dengan tidak terikat pada tuntutan Oditur Militer.

"Hal ini tentu saja akan menjadi preseden yang cukup baik, mengingat spiral kekerasan terus berlangsung, utamanya bagi warga sipil Papua dengan melibatkan aparat TNI atau Polri. 

4. Koalisi menilai Oditur juga terlihat setengah hati

Koalisi HAM: Hukum Berat Para Terdakwa Kasus Mutilasi di Papua!Majelis hakim Pengadilan Militer Jayapura, IDN Times/ Istimewa

Putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim pada sidang ini menandakan Oditurat tidak memperhatikan konteks holistik permasalahan di Papua dalam mencari kebenaran materil selama proses persidangan berlangsung. Koalisi menilai Oditur juga terlihat setengah hati. Oditur adalah penuntut umum, terutama dalam pengadilan militer

"Selain tidak mewakili kepentingan korban, sejak awal struktur dakwaan yang disusun sangatlah problematis dengan menempatkan Pasal Penadahan secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam Pasal 480 ke-2 jo 55 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan Primair. Adapun selama proses persidangan, Oditur juga terlihat setengah hati, terbukti pada pembacaan tuntutan yang hanya 4 tahun," tulis Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM.

Baca Juga: 10 Fakta Kasus Mutilasi di Bekasi, Dipotong dengan Gergaji Listrik

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya