Komnas Perempuan Desak RUU TPKS Dijadikan RUU Inisiatif DPR 2022

RUU TPKS batal masuk paripurna, apa penyebabnya?

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan proses legislasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) atau yang dulu disebut RUU PKS yang tersendat sehingga belum ditetapkan sebagai agenda rapat paripurna sebagai usul inisiatif DPR RI dalam sidang paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada Kamis, 16 Desember 2021.

"Mendesak Pimpinan DPR RI untuk memastikan pembahasan dan pengesahan RUU TPKS sebagai usul inisiatif DPR RI pada tahun 2022," tulis Komnas Perempuan, Sabtu (17/12/2021).

"Penetapan ini telah dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia khususnya korban tindak pidana kekerasan seksual, keluarga korban, dan pendamping korban," lanjutnya.

1. RUU TPKS jadi titian upaya hukum

Komnas Perempuan Desak RUU TPKS Dijadikan RUU Inisiatif DPR 2022IDN Times/Dini Suciatiningrum

Komnas Perempuan tak bosan mengatakan RUU ini sebagai titian untuk mewujudkan perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan upaya memutus keberulangan di tengah-tengah kondisi darurat kekerasan seksual.

Urgensi kehadiran payung hukum bermula dari tingginya angka kekerasan seksual dalam rentang waktu sepanjang 2001-2011.

"Selama dasawarsa tersebut, 25 persen kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan seksual. Setiap hari, sekurangnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Artinya, setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual," tulis Komnas Perempuan.

Baca Juga: Komnas Perempuan Desak Bamus DPR Agendakan Sidang Paripurna RUU PPRT

2. Ada 45 ribu lebih kasus kekerasan seksual selama 2012-2020

Komnas Perempuan Desak RUU TPKS Dijadikan RUU Inisiatif DPR 2022Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Sepanjang menunggu pengesahan RUU ini yakni 2012-2020, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menjabarkan ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.

Selain dapat dilihat secara jumlah, darurat kekerasan seksual juga dilihat dari maraknya kasus pemberitaan di media massa.

"Peningkatan dan kompleksitas kasus-kasus kekerasan seksual yang diadukan tidak diimbangi dengan undang-undang yang mampu menghambat perkembangan kualitas dan kuantitas kekerasan seksual, serta ketiadaan jaminan hak-hak korban dan reviktimisasi selama menempuh jalur hukum," kata lembaga negara yang didirikan 1998 ini.

3. Jalan panjang berulang RUU PKS ke RUU TPKS

Komnas Perempuan Desak RUU TPKS Dijadikan RUU Inisiatif DPR 2022Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi diantaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa periode DPR 2014-2019 RUU ini pernah dibahas dengan pemerintah namun sampai akhir periode tidak berhasil menyetujui satu pun isu dalam daftar inventaris masalah (DIM) RUU PKS yang akibatnya tak dimasukkan sebagai RUU carry over tetapi harus dimulai dari awal.

Salah satu faktornya adalah, kepentingan hak-hak korban tidak ditempatkan sebagai isu pokok pembahasan. Sedangkan mispersepsi, miskonsepsi dan prasangka terhadap substansi RUU P-KS saat itu merebak diberbagai ruang dan media sosial turut mempengaruhi pembahasan di Panja Komisi 8 DPR RI.

Kondisi ini masih berlanjut terhadap RUU tersebut hingga sekarang, yang namanya diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Kondisi yang semakin menjauhkan upaya mewujudkan payung hukum bagi korban kekerasan seksual.

Baca Juga: Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, RUU TPKS Malah Ditunda DPR

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya