Pasal 27A dan 28B UU ITE Revisi Dianggap Berpotensi Mengkriminalisasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Jokowi meneken UU Nomor 1 Tahun 2024 itu pada 2 Januari 2024. Perubahan undang-undang itu terlebih dahulu disahkan DPR RI pada Selasa, 5 Desember 2023. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE atau Koalisi Serius, mengungkapkan ada sejumlah pasal yang dianggap berpotensi menjadi pasal karet.
“DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Ketentuan ini masih bersifat lentur, dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran,” tulis koalisi dalam keterangan resmi, dikutip Senin (8/1/2024).
1. Isi Pasal 27B UU ITE revisi kedua
Pasal 27B ayat (1) berbunyi, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk:
a. Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Editor’s picks
2. Isi Pasal 28 B UU ITE revisi kedua
Sementara, Pasal 2B ayat (2) berbunyi, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
a. Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain,
b. Memberi utang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
3. Revisi dianggap terutup
Koalisi juga menyoroti bagaimana revisi beleid ini dilakukan secara tertutup, sehingga memberi sedikit ruang keterlibatan dan pengawasan publik dalam pembentukannya.
“Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia,” ujar koalisi,