Sosiolog: Klaim Kalung Antivirus Corona Bisa Buat Perasaan Aman Palsu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Profesor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura Profesor Sulfikar Amir menyoroti temuan produk antivirus Kementerian Pertahanan (Kementan) yang berbahan dasar ecalyptus.
Menurut Sulfikar, produk ini tidak diperuntukan bagi virus COVID-19, tetapi virus corona secara general.
"Mereka bicara virus corona tapi bukan virus corona COVID-19, jadi secara metodologi juga salah," kata dia kepada IDN Times, Senin (6/7/2020).
Sulfikar merasa bahwa klaim yang diberikan tentang produk kalung antivirus corona yang beberapa waktu ini viral dapat membuat publik salah persepsi dan merasa aman menggunakannya padahal tidak berdampak pada pencegahan COVID-19.
"Ini akhirnya hanya memberikan perasaan aman yang palsu," kata dia.
1. Bahan kimia apapun bisa membunuh virus
Sulfikar juga mengatakan bahwa penelitian terkait ecalyptus sebagai penangkal corona yang dimaksud ini tidak dilakukan ke dalam tubuh manusia, hanya sebatas uji coba laboratorium saja.
Menurutnya, bahan kimia apa saja menurut dia bisa membunuh virus.
"Apapun juga bahan kimia bisa dipakai untuk membunuh virus, sabun cuci tangan dan lainnya, yang jadi masalah ketika virusnya itu sudah masuk lewat droplet yang kita hirup dari orang lain," ujar dia.
Baca Juga: Kementan: Kalung Antivirus Corona Belum Diuji untuk COVID-19
2. Butuh penelitian yang valid soal klaim kalung antivirus
Klaim yang diberikan oleh Kementan menurut Sulfikar membutuhkan penelitian yang serius untuk bisa membunuh virus di dalam tubuh.
Menurut dia, metodologi yang dijadikan dasar juga harus benar-benar valid.
"Jadi memang kalau saya lihat yang mungkin mereka mencoba membuat sesuatu yang kira-kira bisa membuat kontribusi, tapi kemudian ini dipolitisasi melalui klaim bahwa dia bisa membunuh virus corona," kata dia.
3. Negara dengan bioteknik maju harusnya sudah curi start
Bagi Sulfikar klaim ini dirasa konyol, karena negara dengan bioteknik yang maju saja belum melakukan langkah seperti Indonesia.
Jika klaim ini benar negara lain juga pasti sudah menemukan hal yang sama.
"Jadi ya akhirnya implikasi sosialnya adalah bahwa ketika barang ini diklaim oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, lalu kemudian dijual ke publik, ya tentu akhirnya membuat orang jadi merasa aman kalau misalnya mereka sudah memiliki produk ini," ujar dia.
Baca Juga: Survei NTU: Warga DKI Jakarta Disebut Belum Siap New Normal COVID-19