[WANSUS] Evaluasi 7 Bulan Pandemik, Sudahkah Masyarakat Taat Protokol?

Sejauh mana efektivitas 3M menekan penambahan kasus COVID-19

Jakarta, IDN Times - Penyebaran COVID-19 di Indonesia sudah memasuki bulan ketujuh sejak kasus pertama diungkapkan ke publik oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 2 Maret 2020. Namun, angka kasus positif masih menunjukkan lonjakan yang cukup tinggi.

Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menyebutkan, penambahan kasus positif COVID-19 per Kamis (15/10/2020) pukul 12.00 WIB, sebanyak 4.411 orang. Sehingga, total orang yang terpapar COVID-19 di Indonesia kini mencapai 349.160 kasus. Hampir tembus 350 ribu kasus.

Penambahan kasus yang seakan tak ada hentinya ini terjadi salah satunya karena masyarakat masih tidak disiplin dengan protokol kesehatan. Pemerintah terus melakukan edukasi dan mensosialisasikan protokol kesehatan, karena masih banyak orang yang abai dengan tidak pakai masker saat ke luar rumah hingga berkerumun.

Berkaca pada kondisi saat ini, IDN Times dalam program Ngobrol Seru by IDN Times bertajuk "Tujuh Bulan Evaluasi Pandemik COVID-19, Evaluasi Pakar" mendiskusikan tentang kondisi dan bahaya penyebaran COVID-19 jika masyarakat abai pada protokol 3M COVID-19 yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak.

Untuk mendalami isu ini, IDN Times mengundang Dokter Spesialis Paru sekaligus Juru Bicara RSUP Persahabatan, Dr. dr. Erlina Burhan untuk berbagi perspektif dan masukan. Berikut wawancara khususnya.

Baca Juga: IDI: Tidak Ada Vaksin COVID-19 yang Lebih Baik dari Protokol Kesehatan

1. Apa faktor utama masyarakat sulit menerapkan 3M?

[WANSUS] Evaluasi 7 Bulan Pandemik, Sudahkah Masyarakat Taat Protokol?Dirut RSUP Persahabatan Rita Rogayah dan Jubir Tim Dokter Erlina Burhan (IDN Times/Gregorius Aryodamar P.)

Jadi ini adalah protokol kesehatan yang harus kita laksanakan dengan disiplin tanpa kecuali, semua orang harus melaksanakan 3M. Nah, saya mulai dengan memakai masker, 3M itu adalah memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

Sekarang pakai masker, seandainya saya dan narasumber lain berdekatan, mungkin salah satu dari kami sakit COVID-19 dan salah satu sehat. Kalau kami berdua tidak memakai masker, maka risiko penularannya itu 100 persen, karena duduk berdekatan, berbicara berhadapan, mungkin ada droplet yang keluar. Itu 100 persen, salah satu akan menularkan kepada orang lain itu risiko penularannya 100 persen.

Nah, kalau yang sehat yang memakai masker, maka risiko penularannya jadi 70 persen, kalau yang sakit yang memakai masker risiko penularannya 5 persen. Bagaimana kalau kedua-duanya pakai masker baik yang sakit maupun yang sehat, maka risiko penularannya turun jadi 2 persen saja, dan bilamana kedua-duanya pakai masker dan kemudian menjaga jarak dua meter, maka risiko penularan menjadi 0 persen.

Nah untuk kita mempertahankan 0 persen ini tidak ada penularan, maka kita ditambahkan dengan mencuci tangan dengan sabun atau dengan hand sanitizer, sehingga jika tanpa sengaja memegang wajah walaupun tangan tercemar virus itu tidak terjadi penularan.

Jadi begitu ya, ini mesti disadari. Itulah kenapa semua kita harus pakai masker karena kita gak tahu siapa yang sakit, siapa yang sehat. Karena sekarang ini banyak orang-orang itu kalau diperiksa padahal positif tapi gak ada gejala atau kita menyebutnya OTG (Orang Tanpa Gejala).

Jadi untuk melindungi orang lain, saya memakai masker dan orang lain untuk melindungi saya memakai masker, jadi kita saling melindungi. Jadi itulah mengapa harus memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.

Kemudian apakah ini efektif kalau semua orang menjalankan dan masif dan disiplin? Saya yakin ini akan efektif, cuma persoalannya adalah ini masalah perilaku manusia, orang Indonesia sangat makhluk sosial, senang bersosialisasi, senang berkumpul, ngobrol, gosip, senang bersentuhan, jabat tangan, cipika-cipiki. Jadi makhluk sosial banget dan ada kesulitan sedikit untuk berubah, jadi sebetulnya ini hanya the matter of change your attitude , jadi hanya mengubah perilaku itu.

Perlu sesuatu keinginan kuat dari dalam hati, perlu menganggap bahwa perilaku hidup sehat ini atau untuk menjalankan protokol kesehatan ini adalah kebutuhan, bukan karena takut di razia, bukan karena takut melanggar, bukan karena malu, tetapi memang kebutuhan. Saya memakai masker karena saya butuh melindungi orang lain dan saya juga ingin orang lain pakai masker karena saya butuh dilindungi.

 

Baca Juga: 3 Provinsi Ini Jadi Prioritas Pemerintah untuk Penanganan COVID-19

2. Apa metode yang pas untuk edukasi masyarakat pedesaan tentang 3M?

Ini pendapat saya, kalau di desa itu kan setahu saya Pak Lurah itu sangat-sangat di hormati. Jadi kalau Pak Lurah yang meminta kepada masyarakatnya atau melalui Kepala Desa atau kepala dusun itu akan lebih cepat dan diikuti, dan betul di desa itu perlu role model . Kalau bisa Pak Lurah ke mana-mana pakai masker, bahkan diikuti oleh kepala-kepala desa, maka masyarakat kemudian akan memakai masker mesti ada contohnya.

Bukan saja tokoh masyarakat, juga perangkat desa atau pemerintahan setempat tetapi juga bekerja sama antara Pemerintah daerah dan Dinas Kesehatan, karena memang kalau kepala desa atau lurah atau perangkat desa mereka dulu punya Posyandu yang sangat-sangat dikenal oleh masyarakat, dan Posyandu itu didatangi, jadi Posyandu itu sendiri bukan milik orang kesehatan, tetapi milik masyarakat, tetapi datangnya setiap bulan oleh tenaga kesehatan, untuk memberikan pelayanan imunisasi, menimbang bayi, atau memberikan pil vitamin A untuk anak-anak dan obat cacing, KB dan segala macam, dan ini seharusnya memakai masker juga bisa lewat itu.

Diajarkan mungkin barangkali dengan membagi-bagi master sambil mengajarkan cara memakainya, sambil menerangkan bukan ini saja yang lain pun bisa, fasilitas yang sudah ada karena itu lebih efektif daripada membuat yang baru, nanti orang bingung lagi.

3. Apa sanksi yang tepat untuk orang-orang yang abai protokol kesehatan?

[WANSUS] Evaluasi 7 Bulan Pandemik, Sudahkah Masyarakat Taat Protokol?Ilustrasi Pelanggar PSBB (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Kalau saya melihat hukuman itu bermacam-macam, kalau kita lihat di media sosial ada yang lucu-lucu, ada yang sedih-sedih. Menurut saya barangkali itu tidak cukup memberi efek jera, misalnya lucu-lucu disuruh meluk pohon atau peti mati, itu hanya sesaat mereka akan malu, sesaat mereka akan takut barangkali, bagus juga.

Mumpung rumah sakit butuh banyak relawan, diajak ke rumah sakit mungkin, bukan hukuman, diminta kesediaannya mendorong pasien dari gawat darurat dari IGD ke ruang rawat, maka mereka akan menyaksikan sendiri. Bagaimana susahnya tenaga kesehatan, penderitanya pasien.

Sehingga dalam hatinya amit-amit capeknya seperti ini, maka saya akan menjaga hidup saya, pakai masker jaga jarak, cuci tangan perlu itu ada kita pikirkan juga, ada wisata rumah sakit untuk orang-orang yang tidak patuh.

Tidak membawa mereka masuk ke dalam ruang isolasi. Saya kira itu kelar, karena ada risiko penularan, tapi hanya membantu, di depan memberikan nomor pasien atau mendorong.

Bukan untuk melihat kami (tenaga kesehatan) bekerja, tapi bagaimana orang-orang, masyarakat, bagaimana menderitanya pasien itu untuk bernapas pun susah, padahal udara ini gratis tapi untuk mendapatkan gak mampu, kadang-kadang harus dibantu oleh alat untuk bernapas.

 

4. Apakah orang yang sudah sembuh bisa terinfeksi COVID-19 lagi?

Jadi orang yang sudah sembuh maka dalam tubuhnya akan terbentuk antibodi, yang memberikan kekebalan terhadapnya untuk bisa melawan virus yang sama, tapi untuk COVID-19 ini kekebalan yang terjadi atau antibodi ini tidak bertahan lama, dikatakan dari laporan bahwa jumlah antibodi atau kekebalannya akan berkurang atau hilang setelah 3 sampai 12 bulan.

Jadi kalau 3 atau 12 bulan kemungkinan bilamana tidak menjaga dirinya, tidak menjaga imunitas, tidak menjaga perilakunya kemungkinan untuk reinfeksi atau tertular kembali itu ada.

5. Orang-orang seperti apa yang punya risiko tinggi untuk tertular kembali?

Nah, jadi orang-orang yang punya risiko untuk tertular lagi adalah orang yang memang sistem imunnya lebih rendah, siapa itu orang sistem imun rendah? Satu, orang tua, kedua, orang-orang dengan penyakit menahun seperti gula, hipertensi,  penyakit paru yang menahun dan penyakit jantung yang menahun, pokoknya penyakit yang membuat sistem imunnya turun atau punya penyakit autoimun, atau orang-orang yang mengidap HIV AIDS yang notabene sistem imun rendah dan juga kelompok-kelompok lain seperti ibu hamil juga imunitasnya turun. Sehingga ini adalah kelompok-kelompok yang berisiko untuk tertular dan juga kemungkinan tertular kembali.

Itulah sebabnya selalu dikatakan walaupun sudah sembuh, anda harus tetap menjalankan protokol kesehatan. Jadi kalau ada orang mengatakan, saya sudah sembuh dan saya punya sistem imun yang tinggi, tetapi kemudian setelah saya sampaikan 3 bulan ada kemungkinan kekebalan itu hilang akan terinfeksi lagi. Tapi ada juga yang mengatakan, ya gak apa-apa saya terinfeksi lagi, toh saya sistem imunnya tinggi. Oke sistem imun yang bagus, yang tinggi, yang sangat kuat itu memang bisa melawan virus tetapi kalau virusnya banyak atau terpapar terus-menerus maka sistem yang imun baik pun akan tetap kalah.

Betul-betul, satu, menjalankan protokol kesehatan, kedua mempertahankan imunitas tubuh supaya bagus.

Baca Juga: [WANSUS] Usai Demo Tidak Ada Lonjakan Kasus, Apa Benar COVID-19 Hoaks?

6. Bisa sebutkan risiko terkecil hingga terbesar saat orang abai pada protokol kesehatan?

Kalau seseorang abai, maka berisiko untuk tertular atau berisiko menularkan, kalau gejalanya hanya ringan-ringan saja itu okelah sembuh 100 persen, bisa sembuh. Kalau gejalanya, kemudian berat itu perlu perawatan di rumah sakit dan dan ini akan bermasalah.

Itu satu, hal kedua bisa juga kalau kita hubungkan dengan disampaikan tadi orangnya kemudian abai, kemudian tertular ke rumah, maka ini akan berisiko selanjutnya adalah menularkan orang-orang yang ada di rumah yang kita sayangi jadi ada klaster rumah lagi, klaster keluarga.

Nah ini adalah risiko terberat, satu keluarga terkena dan ada kemungkinan yang hanya menjadi OTG atau gejala ringan dan kemungkinan untuk keparahan yang berat juga ada jadi risiko terbesar, yaitu dirawat di rumah sakit dan bilamana ada komplikasi akan lebih sulit lagi dan ingat penyakit ini juga mematikan.

 

7. Apa risiko millenial dan anak-anak terkena COVID-19?

[WANSUS] Evaluasi 7 Bulan Pandemik, Sudahkah Masyarakat Taat Protokol?Suasana Pandemik COVID-19 di Indonesia (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Jadi memang disampaikan justru kelompok usia 17 tahun sampai 30 tahun itu kelompok yang banyak terpapar, nah ini artinya apa karena memang itu termasuk millenial yang disampaikan tadi kelompok usia itu.

Nah ini menunjukkan bahwa memang kelompok millenial yang memang mobilitasnya tinggi, walaupun memang tidak sekolah, tidak boleh, tapi tetap bepergian ke mana-mana, seperti masih ngopi-ngopi, masih ke mal, masih bertemu teman-teman di luar yang menunjukkan bahwa orang-orang dengan mobilitas yang tinggi walaupun millenial sistem imunnya bagus tapi tetap ternyata bisa berisik.

Jadi kita tidak perlu secara umum, semua orang punya risiko untuk tertular walaupun risiko yang banyak adalah pada kelompok yang saya sebutkan tadi, tapi semua orang punya risiko.

Anak kecil ini sistem imunnya belum terutama di bawah lima tahun sistem imun belum bertumbuh, belum berkembang dengan sempurna. Oleh sebab itu berisiko untuk tertular dan menjadi sakit tetapi kenapa banyak anak kecil yang sedikit jumlah terpapar, mungkin memang anak kecil tidak dibawa ke mana-mana karena memang lebih banyak di rumah apalagi dalam suasana sekarang.

8. Saran pada pemerintah agar angka COVID-19 segera menurun?

Saya sekarang saran untuk pemerintah untuk melakukan tugasnya pemerintah yaitu 3T, tracing, testing dan treating. Jadi treating (perawatan) itu ada isolasi, ada rumah sakit yang pakai obat-obatan.

Jadi kalau dilakukan testing yang banyak dan testing yang juga masif, maka kita akan banyak menemukan orang-orang dengan gejala yang ringan atau bahkan tanpa gejala.

Kemudian treating dilakukan pada mereka ini artinya mereka treating adalah isolasi, maka itu dengan sendirinya akan memutus rantai penularan, jadi saya setuju dengan Pemda yang mengusulkan mereka mengisolasi, di karantina milik pemerintah, jadi hubungan dengan orang lain terputus selama sekian waktu, sehingga mereka sudah sembuh baru dikembalikan ke masyarakat. Jadi ini mesti dilakukan secara masif.

Jadi treating sudah dilakukan, maka testing, kalau masih testing banyak yang ketemu orang-orang yang positif ini di-tracing. Siapa saja yang berinteraksi, di-testing, dites yang interaksi ini ketemu lagi dari yang ketemuin di-tracing lagi, itu harus masih terus bergulir, maka demikian banyak ditemukan OTG dan yang ringan.

Mereka yang ringan ini biasanya sembuh 100 persen, jadi kalau di dilaksanakan dengan masif dengan terus-menerus saya kira kita bisa akan melewati pandemik ini. Sayangi jiwa anda dengan memakai masker, mencuci tangan dan jaga jarak.

 

Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19, menggelar kampanye 3 M : Gunakan Masker, Menghindari Kerumunan atau jaga jarak fisik dan rajin Mencuci tangan dengan air sabun yang mengalir. Jika protokol kesehatan ini dilakukan dengan disiplin, diharapkan dapat memutus mata rantai penularan virus. Menjalankan gaya hidup 3 M, akan melindungi diri sendiri dan orang di sekitar kita. Ikuti informasi penting dan terkini soal COVID-19 di situs covid19.go.id dan IDN Times

Baca Juga: [LINIMASA-4] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya