[WANSUS] Pakar Hukum Bivitri Susanti: Kupas Kontroversial Isi RKUHP

Pasal di dalamnya timbulkan atensi publik

Jakarta, IDN Times - Draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) final diantar oleh Pemerintah ke DPR RI pada Rabu (6/7/2022) lalu. Namun belum juga sah beleid ini, draf final RKUHP justru sudah sukses membuat kalang kabut banyak masyarakat karena isinya yang dinilai eksentrik. 

Amnesty International Indonesia menyatakan, banyaknya penolakan terhadap RKUHP lantaran banyak substansi di dalamnya yang dianggap bermasalah, serta tak mencerminkan semangat dekolonialisasi serta perlindungan HAM.

RKUHP sendiri adalah carry over dari keputusan DPR RI 2014-2019 yang pembahasannya tinggal dilanjutkan dalam pembahasan di Tingkat II, yaitu persetujuan di Rapat Paripurna DPR.

Nah, IDN Times, berkesempatan membahas sejumlah pasal yang ada di RKUP dengan Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti. Apa saja pasal yang pantas untuk disoroti? Akan dijawab pada wawancara khusus di bawah ini.

Adapun wansus ini berlangsung pada Selasa (12/7/2022) lalu, dan turut ditayangkan pada program "Ngobrol Seru: Kupas Tuntas RKUHP" yang juga tayang di instagram IDN Times.

Berikut petikan wawancaranya:

1. Sebenarnya apa urgensi dari RKUHP?

Kita itu punya KUHP, kitab undang-undang hukum pidana, tapi memang kalau KUHP yang kita pakai sekarang itu untuk pencurian dan penggelapan, penipuan, segala macam, yang berbau pidana.

Itu sebenarnya hanya terjemahan tidak resmi dari KUHP peninggalan Belanda atau bahasa Belanda-nya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.

Dan berlaku di Indonesia gara-gara waktu kita merdeka memang ada aturan peralihan undang-undang dasar yang menyebabkan KUHP peninggalan Belanda itu berlaku buat kita.

Jadi tentu saja karena itu, ada keinginan yang kuat sekali dari kita sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, untuk punya KUHP sendiri, yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia yang merdeka, bukan jajahan, dan juga yang terpenting adalah bukan hanya itu, juga sesuai dengan perkembangan zaman.

Menurut saya urgent kalau memang RKUHP-nya sudah membawa paradigma baru yang lebih modern dan kekinian tentang hukum pidana yang gak cuma segala macam kita gak boleh dikasih ketakutan-ketakutan, dikasih sanksi pidana seperti dulu hukum pidana zaman kolonial diterapkan.

Sekarang paradigmanya harus berbeda, betul kita butuh pengaturan supaya tertib, tapi sejauh apa pengaturan itu. Jadi kalau misalnya dibilang urgensi, iya urgent, apabila kontennya itu memang benar-benar yang sifatnya kekinian.

Masalahnya adalah kalau ternyata konten dari RKUHP ini masih membawa semangat kolonialisme tadi, maka jadinya tidak urgent, mendingan dibahas dulu secara mendalam, jadi kita betul-betul mendapatkan apa yang kita butuhkan sekarang yang paradigmanya sudah beda banget dengan tema dulu 100 tahun yang lebih dari 1917, dibawa ke Indonesia, jadi memang sudah tua jadi gak bisa di-copy paste paradigma situasi saat ini.

2. Awalnya disebut Juli akan sah, namun hingga kini belum ada kabar lagi, bagaimana?

Kata kuncinya di situ. Karena memang selama ini yang jadi rumit dari pembahasan kalau KUHP ini agak beda dengan pembuatan undang-undang pada umumnya adalah karena tahun 2019, dulu ada gerakan reformasi dikorupsi itu efeknya.

Itu membuat rancangan undang-undang yaitu rancangan KUHP dan rancangan undang-undang lembaga pemasyarakatan ditarik oleh pemerintah sebelumnya dijadikan pembahasan undang-undang itu dua tingkat, tingkat pertama itu yang membahas secara mendalam, tingkat kedua yang tinggal ketuk aja.

Ilustrasinya biar gampang relate, itu yang Mbak Puan (Ketua DPR) suka matikan mikrofon, itu adalah pembahasan tingkat dua.

Ditariknya memang pas pembahasan tingkat dua, kemudian ada undang-undang yang mengatur bisa ada undang-undang yang sifatnya carry over, dioper dari periode DPR yang sekarang, yang sebelumnya itu habis 2019, ini yang baru, jadi karena 2019 itu ditarik sebelum ketok palu.

Anggota DPR dan Pemerintah menginginkan sekarang, gak usah ada pembahasan lagi, langsung ketok saja udah jadi nih. Padahal menurut saya, ini yang salah dalam sistem hukum dan sistem politik kita dan UU dasar kita.

Karena pertama kan berbeda, ternyata apa yang ditarik oleh Presiden pada bulan September 2019 dengan versi 4 Juli 2022 itu isinya beda, jadi gak logis kalau misalnya apa yang ditarik tuh sekarang langsung diketok aja.

Tapi alasan yang kedua yang lebih mendasar, namanya pembahasan undang-undang bagaimanapun, namanya juga pembahasan dulu, gak bisa langsung ketok aja, namanya undang-undang itu bukan keputusan politik semata-mata dari elite politik kita di DPR dan pemerintah.

Tapi pada saat ketok palu, mereka harus mengambil keputusan berdasarkan maunya rakyat, kan mereka wakil rakyat, nah itu harus dibahas dulu gak bisa main ketok saja.

Jadi gara-gara carry over itu ada keinginan bulan Juli ini langsung ketok, namun memang sekarang DPR sudah reses, akhirnya pada tanggal 4 Juli lalu mereka memutuskan bahwa oke kita gak perlu di bulan Juli, kita reses dulu setelah itu nanti baru kita ambil keputusan mau beneran diketok atau mau dibahas dulu. 

Pada akhirnya memang harus ada yang ambil keputusan, kita semua paham itu, tapi kan jangan karena kita ribut, kita mau ikut diskusi sebagai warga negara yang baik justru kemudian ruang tertutup duluan, langsung diketok saja.

Jadi itu yang terjadi sekarang memang belum, gak jadi bulan ini, karena DPR nya lagi reses. Jadi DPR itu kan ada masa sidang, terus reses berapa minggu lagi gitu ya, masa sidang berikutnya barulah mereka akan memutuskan apakah benar mau dibahas atau tidak.

Dan harapannya pasti kita maunya ngebahas dulu. Sekarang ini DPR wacananya itu lebih banyak ke simbolisasi, ketimbang proses dan substansi. Maksud saya, simbolisasi ini, yang dibicarakan adalah “Oh kita mau memberikan kado untuk rakyat Indonesia pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2022”, atau simbolisasi lain ini adalah karya agung bangsa Indonesia karena bukan peninggalan penjajah, atau simbolisasi lain legacy Pak Jokowi, di masa pemerintahannya karena akhirnya ada KUHP baru.

Itu simbolisasi yang ada di permukaan dan menurut saya itu harus tolak, karena yang penting itu proses yang terbuka dan substansi yang bukan malah seperti aturan kolonial zaman dulu.

3. Adakah aturan terkait pelibatan masyarakat dalam pembentukan produk hukum?

Ada banget, jadi teman-teman perlu tahu, bahwa hak untuk berpartisipasi itu ada di undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang 12 tahun 2011. Sekarang sudah diubah dua kali, terakhir terjadinya undang-undang 13 tahun 2022, di pasal 96 dikatakan ada hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Jadi semua peraturan perundang-undangan, undang-undang, PP, perpres, Perda juga ya hak kita ada, dan kemudian di setiap tahap artinya pas penyusunan juga seharusnya kita berhak berpartisipasi, apalagi pas pembahasan, cuma pengundangan aja enggak karena dia hanya pemberian nomor gitu ya. 

Jadi kita semua berhak dan secara mendasar itu kan hak konstitusional sebenarnya, karena namanya demokrasi itu kan waktu kita mencoblos wakil rakyat, berapa tahun yang lalu 3 tahun yang lalu 2019 bukan berarti kita menyerahkan nasib kita 100 persen ke mereka, gak bisa.

Makanya sekarang berkembang, namanya demokrasi deliberatif jadi walaupun ada perwakilan tapi warga negara itu harusnya boleh sekali bahkan seharusnya diundang terbuka untuk ikut serta dalam pembahasan semua kebijakan yang diambil oleh para wakil kita itu. Jadi sangat berhak.

Seharusnya dari awal setiap draf itu harus dibuka, kan jadi bagus kalau kita jadi bisa punya informasi yang cukup, kita mengkritik atau memberi masukan, basisnyakan informasi dalam nah ini yang juga tidak diberikan. Jadi jangan takut teman-teman kita sebagai warga negara untuk ikut pembahasan undang-undang.

4. Apakah pasal penghinaan mengungkung kebebasan berekspresi masyarakat

Itu sangat mengungkung kebebasan berekspresi, karena jadinya kita akan takut memberikan kritik. Jadi secara esensial dulu ya, kita jadi takut karena sudah diancam duluan, kamu gak boleh mengkritik walaupun di situ ditulis menghina dan merendahkan martabat.

Kita semua ini protes, ini sudah lama sejak 2017, kemudian ditarik 2019, yang diakomodasi masuk dalam penjelasan. Kritik masa harus konstruktif, kritik itukan membongkar gagasan, jadi gak harus kita memberikan solusi.

Bahkan dikatakan kritik harus konstruktif dan disertai dengan semacam apa ya istilahnya, tapi kurang lebih memberikan alternatif solusi itu ketika kita mengkritik Presiden, itu sangat membatasi kebebasan berekspresi, melanggar konstitusi.

Jadu aneh kalau presiden malah diberikan satu pasal sendiri yang melindungi dirinya, karena kalau bisa temen-temen ada yang mikirnya, presiden gak boleh kita hina-hina, ini budaya Indonesia fine dan sebagainya, tapi kalau misalnya Presiden sebagai pribadi ini udah ada pasalnya, yang bisa dipakai oleh seorang presiden, siapun itu Jokowi siapa nanti kita belum tahu ya presiden secara personal itu bisa menggunakan pasal yang tidak ada tentang penghinaan yang berlaku buat semua orang.

Jadi aneh kalau dikonstruksikan tersendiri untuk presiden dan juga pejabat pemerintahaanm dugaan banyak pengiat Reformasi hukum pidana, pasal seperti ini muncul, paradigmanya itu masih paradigma pasal KUHP peninggalan pemerintah kolonial, karena dulu tahun 1917 tahun 1920 an tentu saja kita ini para pribumi nggak boleh mengkritik ratu Belanda, nggak boleh mengkritik Amtenar ya istilahnya pegawai pemerintahan zaman dulu bahasa Belandanya, memang gak boleh, ratu Belanda itu kemudian waktu KUHP yang Belanda di bawa, diterjemahkan ke Indonesia sebagai presiden.

Nah paradigma ini dibawa ke RKUHP yang baru sehingga di konstruksikanlah pasal itu, padahal sebenarnya logikanya semua orang sama di hadapan hukum, apalagi seorang presiden maupun pejabat negara mereka punya privilege, karena mereka punya kewenangan.

Jadi hitungannya bukannya karena dia dipilih oleh berapa ratus juta rakyat, maka dia harus lebih dilindungi, justru gak. Karena dia punya kewenangan berlebih dia gak perlu perlindungan khusus.

Jadi buat apa dibuatkan satu pasal baru yang membuat kita akan semakin bungkam, sekarang saja kita dengan undang-undang ITE sering takut tuh, mau mengkritik karena khawatir nanti paling tidak ditegur sama polisi cyber apalagi kalau sudah ada ketentuan seperti di KUHP itu.

Sebenarnya pasal mengenai penghinaan Presiden itu juga sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tapi kok dimasukkan lagi, itu yang jadi masalah seharusnya memang tidak ada ketentuan seperti ini.

5. Apakah pasal-pasal yang ada di RKUHP saat ini membuat mundurnya demokrasi Indonesia, apalagi terkungkungnya kekebasan berekspresi?

Saya yakin jika KUHP dengan pasal-pasal seperti ini diterapkan, maka demokrasi kita akan semakin mundur. Karena itu, tadi kita semakin takut untuk bersuara, karena elemen penting dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat itu, dan tanpa KUHP yang seperti itu saja, sekarang pasal-pasal di undang-undang ITE yang seharusnya juga diubah kan jadinya presiden diubah ya, tapi belum sekarang itu bisa digunakan sudah banyak yang kena.

Penyusun undang-undang dan juga DPR sering kali bilangnya begini kalo kita berdebat, sering kali bilang kalian nggak boleh menghina tapi boleh mengkritik terus kan kita bisa berargumentasi di lapangan susah sekali dibedakan mereka akan bilang buktikan saja di pengadilan mereka lupa kalau itu akses to justice tidak sama untuk semua orang, mungkin ada orang yang mudah bayar avokad yang tidak murah ya bayar advokad untuk membuktikan dirinya tidak bersalah di pengadilan. Tapi kan yang bisa kena pasal-pasal penghinaan Ini kan, mau tukang bakso tukang becak, mahasiswa yang mungkin nggak ada uang bayar Avokad dan juga siapa bilang kita nggak takut kalau kita didatangi aparat berseragam.

Bahwa ada panggilan tidak ada segala macam itu menimbulkan tekanan psikologis dan kecenderungannya kita pasti akan menghindari itu jadi kita akan melakukan self censorship, udah takut duluan, ya udah diem aja deh kita, lay low aja kita nggak usah bersuara ngritik kita jadinya akan sangat memundurkan demokrasi karena demokrasinya semu, kita jadi warga negara yang kalau saya membayangkan kalau KUHP ini jadi kayak sekarang, kita jadi robot jadi kita takut mau ngapa-ngapain, pemerintah bilang kiri, kiri semua, kanan, kanan semua gak ada yang berani ke kiri karena nanti kena KUHP itu yang saya bayangkan dan itu artinya bukan demokrasi, nanti kita jadi seperti negara totaliter, memang seram kalau KUHPnya kayak gini.

Baca Juga: Dewan Pers Minta DPR Kaji Ulang Pasal RKUHP yang Ancam Kebebasan Pers

6. Bagaimana cara buktikan pasal santet dan di mata hukum bagaimana?

Paradigma itu yang tadi kayak di copy dari yang lama ke yang baru, karena aturan mengenai santet aturan mengenai gelandangan, aturan mengenai tadi itu menghasut hewan, yang terdengar, masa sih ini perlu diatur, pembuktiannya gimana.

Tapi kita serahkan ke penegak hukum, pasal ini bagaimana. Tetapi pada kenyataannya, akhirnya pasal ini seperti tiada gunanya, itu unfaedah, karena kesulitan dalam pembuktian kemudian juga perkaranya kebanyakan kecil-kecil gitu dari segi nilai juga kecil.

Sementara ada keuangan negara harus digunakan untuk untuk memproses setiap kasus dari penyelidikan penyidikan penuntutan, polisi kerja, jaksa kerja, ada anggarannya. Jadi seringkali akhirnya, tindak pidana-tindak pidana yang kecil dalam tanda kutip, toh diabaikan juga.

Maka itu buat apa dibuat, itu kita yang harus kritis melihat melihatnya karena paradigma lama nya masih dipakai. Jadi masih ada waktu membuat undang-undang ini, api dugaan saya, waktu itu kalau KUHP yang lama dibuka dulu, nah terus diganti-ganti sesuai dengan terminologinya ya misalnya, kan kalau dulu bilangnya barang siapa sekarang setiap orang blablabla, bukan barang siapa lagi karena sudah bukan terjemahan.

Itu dirapikan, tapi pasal-pasal yang sebenarnya sudah gak relevan seperti itu kebawa, tapi bener banget pembuktiannya gimana ya, sangat-sangat sulit itu, makanya akhirnya cenderung diabaikan dan praktik seperti itu banyak sekali akhirnya juga memang tidak dibawa ke ranah hukum ya, tapi juga diselesaikan.

Sekarang juga dan model restorative justice, hal yang kecil-kecil begitu memang seringkali disengaja oleh aparat penegak hukum supaya tidak diproses, makanya namanya restorative justice saja, jadi ngapain diatur di KUHP.

7. Konsekuensi jika RKUHP disahkan?

Konsekuensi legalnya adalah kita semua akan diikat oleh RKUHP itu makanya hastag semua bisa kena tuh pas banget. Jadi kan ada nih dalam hukum namanya teori fiksi hukum yang artinya begitu sebuah undang-undang KUHP nanti begitu dia diundangkan dapat nomor undang-undang nomor sekian tahun 2002 tentang KUHP.

Maka dianggap semua orang yang ada di Indonesia harus tahu dalam arti gak ada yang bisa begitu ditangkap Polisi, soalnya terus bilang Pak atau Bu gak tahu tuh ada KUHP yang baru.

Maaf ya, tolong, saya jangan dikenai hukuman, gak bisa! Jadi siapapun kita akan bisa kena KUHP jadi konsekuensi legalnya sih itu dan kalau KUHP ini ingat akan menggantikan KUHP yang sekarang.

Jadi kalau sekarang temen-temen tahunya ada pasal penipuan ke nanya begini pasal pembunuhan dan seterusnya itu semua akan digantikan oleh KUHP yang baru ini, dengan segala konsekuensinya.

Dan karena ini adalah modelnya kodifikasi istilahnya hukum nya ya. Jadi makanya kitab undang-undang judulnya beda sama yang lain, dari segi judulnya pun gitu, maka semua undang-undang yang terkait dengan pidana kekerasan seksualkah, tindak pidana perdagangan orang, tidak ada di undang-undang ITE dan lain sebagainya tetap basis misalnya pemberian sanksi nya pengaturan pemberatan dan sebagainya dalam teknik hukum pidananya mengacu pada KUHP ini.

Jadi sedemikian pentingnya makanya kita harus tahu dan kita semua harus terlibat dan kita harus terlibat.

Baca Juga: Ada Pasal Santet di RKUHP, Pakar Hukum: Unfaedah

8. Kita harus dalam posisi apa dalam memandang RKUHP ini, menolak kah?

Menurut saya kalau draftnya tidak diubah sama sekali dari draf yang kita baca versi 4 Juli 2022 itu maka masih perlu kita tolak, sebagai alat bukti di awal harus kita bisa buktikan lagi, pasal mana sih yang mau kita ubah, biasanya kita harus dalam posisi dulu. Masukan yang konstruktif itu sudah berkali-kali.

Tetapi kita harus bilang gak setuju bila KUHPnya bisa kita baca, kita harus dorong supaya ada perubahan, kalau ada yang nanya ke teman-teman, apa yang kalian lakukan, Bapak-Ibu silakan buka kajiannya, sudah banyak, sudah ada 25, yang dianggap bermasalah oleh masyarakat sipil nah, dari situ saja banyak.

Ada penjelasan dulu, buka dulu jangan begitu saja bilang karena Anda ini bodoh-bodoh sementara kami yang menyusun itu guru-guru besar dan para ahli hukum, ya kalian pasti gak akan tahu apa-apa, begitu terus ya.

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya