Ketika itu, saya tidak membacakan semacam naskah yang ditulis oleh fraksi, konteksnya seperti itu. Tetapi, itu membaca tulisanku sendiri. Itu catatan kecil lah. Itu kebiasaan saja, setiap mau rapur (rapat paripurna) atau rapat biasa, saya terbiasa membuat catatan di sepanjang perjalanan dari rumah ke DPR.
Atau kadang-kadang pas malam (menuju ke rapat). Kemarin kebetulan itu ruangan rapat paripurna belum selesai. Sehingga, saya masih ingin menyelesaikan beberapa hal yang ingin saya sampaikan.
Jadi, ini bukan bentuk penugasan (dari partai) untuk membacakan. Tetapi, itu niat yang memang sudah sejak awal ingin saya sampaikan lewat paripurna, mengambil momentum itu untuk menyampaikan secara terbuka political statement terkait hak angket.
Beberapa minggu sebelumnya saya sudah menerima yang namanya dukungan dan dorongan dari masyarakat sipil. Jadi, ada kelompok masyarakat sipil terkait pemilu, di mana mereka meminta saya agar DPR melakukan langkah-langkah politik dengan menggulirkan hak angket.
Secara pribadi tentu saya setuju karena memang terkonfirmasi situasi itu. Yang berikutnya saya kira apa yang saya sampaikan itu secara batin.
Nuansa kebatinan itu tidak jauh berbeda yang dirasakan dengan teman-teman yang ada di fraksi. Termasuk misalnya oleh pimpinan kami di PKB. Makanya gak ada yang dilarang, dicegah, dimarahi, just read aja.
Cak Imin (Ketum PKB) percaya kita gak mungkin mengusulkan sesuatu yang itu berlawanan dengan konstitusi, undang-undang. Kemudian berlawanan dengan kehendak publik. Makanya kami bilang bahwa kami punya dasar untuk menyampaikan political statement terkait hak angket.
Saya cukup senang ketika ada upaya survei yang dilakukan oleh (Harian) Kompas terkait hak angket. Hasilnya 62 persen lebih (setuju hak angket).
Pasti yang mendukung hak angket itu terdiri dari berbagai lapis masyarakat yang bisa saja ada yang memilih (paslon) 02, 01, dan 03 atau mungkin ada yang golput. I don't know.
Tapi, intinya ada keinginan dari publik yang mencari tahu dan mendapatkan kepastian terkait dugaan-dugaan kecurangan itu. Saya kira kita gak bisa melawan kehendak publik itu.
Teman-teman lain di partai juga percaya pendekatan saintifik. Saya kira dalam konteks itu yang terjadi.
Dukungan moral dari para guru besar. Saya selalu respect kepada guru besar, karena capaian menuju ke sana tidak mudah. Itu ruang yang sangat terhormat.
Sebagian ada yang saya kenal pribadi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang memiliki kredibilitas, intelektual dan credential yang sangat tinggi. Mereka memiliki intelektual yang sangat mapan.
Ada Prof Hakristuti Harkrisnowo, Bivitri dan lain-lain yang saya kenal pribadi dan memang pribadi yang tangguh. Mereka sampai turun jalan dan keluar dari kampus. Mereka speak up dan menagih kepada DPR untuk menjalankan fungsi konstitusionalnya menggulirkan hak angket.
Supaya ada hal yang kita selesaikan secara terbuka. Kami gak ingin ada preseden di kemudian hari bahwa pelaksanaan demokrasi ini boleh nabrak-nabrak. Bahwa, demokasi ini hanya untuk menyenangkan orang per orang. Lalu, harus menabrak hukum.
Tentu semua partai berkeinginan tak mau dilikuidasi hanya karena untuk mengamankan proyek tertentu, kemudian harus ada pihak-pihak yang dikorbankan atau malah diuntungkan. Kepastian-kepastian ini harus ada di alam demokrasi kita.
Belum lagi ada semacam dugaan dan kan sudah ada juga laporan dari beberapa pihak terkait. Mereka mempertanyakan kok sumber daya negara dipakai untuk memberi jalan bagi calon tertentu.
Saya tidak menuduh calon tertentu itu satu calon. Ini kita belum sampai ke materi itu. Tetapi, yang kami jadikan substansi adalah penggunaan sumber daya negara yang dilakukan atau dimobilisasi, pasti akan menguntungkan pihak tertentu.
Baik itu misalnya aparat penegak hukum (APH) dilaporkan mobilisasi. Tetapi, saat ini kan situasinya nyaris blur. Bahkan MK saja ada di dalam situasi yang kita sama-sama tahu.
Ada pengakuan dari Kapolda yang memaksa rektor (untuk membuat testimoni positif tentang Presiden Jokowi). Cara itu disebut cooling system. Jangan dikira situasitu mencerminkan kalau kita dalam keadaan baik-baik saja.
Belum lagi politisasi bansos. Bansos itu bagus. Tapi, kalau kemudian timing-nya, penerimanya, jumlahnya sudah over dosis, melampaui batas yang itu dianggap wajar, apalagi kementerian terkait justru tidak dilibatkan. Ini kan menjadi pertanyaan publik. Ini ada apa?
DPR harus menempatkan diri untuk melakukan check and balances. Jadi, kita tetap berada di koridor yang dari sisi aturan diberi ruang. Kan gak mungkin DPR melakukan fungsi yang tidak ada di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, kita gunakan mekanisme hak angket (dugaan kecurangan pemilu).