Barikade Polri di area Senayan Park untuk menghalau mahasiswa ke Gedung DPR. (IDN Times/Santi Dewi)
Ahli Hukum Kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini menyoroti istilah yang dipakai pimpinan partai politik menonaktifkan sejumlah anggota DPR yang menuai kontroversi. Menurutnya, istilah nonaktif yang dipakai bermuatan sangat politis karena nonaktif bukan istilah hukum dan tidak diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
"Kalau kita lihat dan kita cermati Undang-Undang MD3, Undang-Undang nomor 17 tahun 2014, maka sebenarnya istilah yang digunakan non-aktif itu istilah yang sangat politis, bukan istilah hukum begitu ya, sangat tricky," kata dia dalam keterangannya.
Mengacu pada Pasal 239 UU MD3, hanya ada tiga istilah yang disebutkan yakni pemberhentian antar waktu, pergantian antar waktu, dan pemberhentian sementara. Apabila kelima anggota DPR yang bermasalah itu digantikan posisinya, maka istilah yang tepat dipakai ialah pemberhentian antar waktu (PAW), bukan nonaktif.
"Pemberhentian antar waktu itu akan diikuti oleh penggantian antar waktu. Pemberhentian antar waktu itu hanya bisa dilakukan kalau dia mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan. Nah diberhentikan itu banyak faktor, karena melanggar mode etik sumpah janji jabatan, tidak mengikuti tugas-tugas sebagai anggota DPR tiga bulan berturut-turut," tuturTiti.
Kemudian, istilah pemberhentian sementara hanya untuk anggota DPR yang melakukan tindak pidana, maka dilakukan pemberhentian sementara yang berstatus sebagai terdakwa.
Titi menyampaikan, menurut UU MD3 istilah nonaktif secara spesifik hanya digunakan untuk pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
"Nonaktif itu hanya muncul satu kali di Undang-Undang MD3 kita, dan itu spesifik hanya untuk pimpinan MKD, yang diadukan ke MKD sehingga kemudian status pimpinannya itu di nonaktifkan sementara," tegasnya.
Titi meyakini, penggunaan istilah nonaktif lebih mengarah kepada konsep politis, ketimbang konsep hukum, di mana parpol hanya berupaya menenangkan publik.
"Seolah-olah masih merupakan kompromi untuk menenangkan publik, tapi tidak menjadi solusi yang betul-betul legal dan konstitusional untuk memproses orang-orang bermasalah," ujar dia.