Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menko Polhukam, Mahfud MD (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD merasa ragu, Pemilu 2024 dapat diselenggarakan dengan substantif karena potensi politik uang masih besar.

"Bahwa akan terjadi politik uang dan sebagainya, itu masih sangat sulit dihindari," kata Mahfud saat berbincang dengan Rocky Gerung dalam youtube RGTV CHannel ID, Senin 17 Oktober 2022.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies Nyarwi Ahmad, apa yang disampaikan oleh Menko Polhukam itu cukup masuk akal. Terlebih di tengah laju inflasi dan tekanan ekonomi global saat ini.

"Godaan pemilih untuk menerima politik uang memang cukup tinggi," ujar Nyarwi Ahmad dalam siaran tertulis yang dikutip IDN Times, Kamis (20/10/2022).  

1. Politik uang tergantung pada perilaku kandidat yang maju Pemilu 2024

Pakar Komunikasi Politik UGM, Nyarwi Ahmad. (Tangkapan layar YouTube.com/IDN Times)

Menurut Nyarwi, hal tersebut tergantung pada kecenderung perilaku elite-elite politik atau kandidat yang maju dalam Pemilu 2024. 

"Jika mereka makin tertarik menggunakan politik uang untuk memobilisasi pemilih dan semakin tinggi tingkat permisifitas pemilih tersebut pada politik uang, maka eskalasi politik uang dalam pemilu bisa makin meningkat," kata Nyarwi.

Ia menambahkan, indikasi adanya trend politik uang sudah sering disebutkan oleh banyak pihak yang muncul dalam pemilu sebelumnya.

"Namun, belum ada data yang sangat valid yang menunjukkan bahwa preferensi mayoritas pemilih pada partai maupun kandidat, sepenuhnya ditentukan oleh politik uang sebagai faktor utama yang menentukan pilihan mereka," ujarnya. 

2. Politik uang dapat terus menghantui pemilu di Indonesia jika kandidat masih mengandalkan hal tersebut

Ilustrasi Pemilu. (IDN Times/Mardya Shakti)

Dosen Komunikasi Politik FISIPOL UGM itu mengatakan, dalam arena pemilu hal tersebut tidak ada jaminannya.

"Mereka yang menjalankan politik uang secara masif dan intensif dalam jumlah besar secara otomatis keluar sebagai pemenang, atau mendapatkan kursi di jabatan publik," kata Nyarwi.

Selain itu, permisifitas pemilih pada politik uang di setiap daerah pun berbeda-beda. Pemilih di sejumlah daerah tertentu bisa saja memimiliki permisifitas yang tinggi pada politik uang. "Di tempat lainnya, tingkat permisifitas semacam itu bisa saja lebih rendah," ujar Nyarwi.

Nyarwi mengatakan bahwa para kandidat dan pimpinan parpol menyadari kondisi semacam itu. Oleh karena itu, politik uang dapat terus menghantui pemilu di Indonesia jika para elite yang menjadi kandidat bertarung dalam pemilu masih terus mengandalkan politik uang.

"Trend ini juga bisa terus berkembang jika permisifitas pemilih pada politik uang masih sangat besar, dan angka inflasi dan tekanan ekonomi yang ada menyulitkan kehidupan mayoritas pemilih," jelas Nyarwi.

3. Peluang untuk menurunkan politik uang dalam setiap pemilu selalu ada

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Nyarwi pun mengatakan, peluang untuk menurunkan kadar politik uang dalam setiap pemilu tentu selalu ada.

"Pengawasan praktik-praktik politik uang diintensifkan, penegakan hukum atas terjadinya praktik-praktik politik uang dijalankan lebih maksimal, dan tingkat penolakan masyarakat pada politik uang makin masif," jelas Nyarwi. 

Nyarwi menambahkan, menghilangkan perilaku politik uang dalam pemilu tentu saja tidak cukup hanya dengan pengawasan dan penegakan hukum pada mereka yang menjalankan atau yang menerima politik saja.

"Langkah tersebut hanya mampu mengerem laju politik uang pada sisi hilirnya saja. Yang terpenting adalah pada di sisi hulunya, yaitu hal-hal yang mendorong eskalasi praktik-praktik politik uang, baik yang bersumber dari aktornya, maupun dari faktor strukturalnya," ujar Nyarwi.

Editorial Team