Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Mahfud MD sudah menduga persepsi penanganan korupsi di Indonesia pada 2020 akan stagnan, bahkan cenderung menurun. Pernyataan itu mengomentari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang anjlok dari peringkat 85 ke peringkat 102. Skornya pun ikut turun tiga poin, dari semula 40 ke angka 37.
Pria yang sempat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan persepsi negatif soal pemberantasan korupsi dipicu pemberitaan pada sepanjang 2019 terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi tersebut dianggap melemahkan komisi antirasuah dalam menjerat koruptor. Perubahan UU tersebut juga dinilai sebagai lonceng kematian KPK, setelah Komjen Pol Firli Bahuri terpilih memimpin komisi antirasuah.
"Itu bisa menimbulkan persepsi, apapun itu. Meskipun faktanya bisa iya, bisa tidak, menurunkan (IPK) atau melemahkan (KPK) tinggal tergantung sudut pandang. Tetapi, saya sudah menduga bahwa ini akan menimbulkan persepsi buruk," ungkap Mahfud yang hadir dalam diskusi virtual peluncuran IPK oleh Transparency International Indonesia (TII) pada Kamis siang, (28/1/2021).
Selain itu, hal lain yang menurutnya menyebabkan persepsi pemberantasan korupsi Indonesia menurun, lantaran Mahkamah Agung justru banyak memberikan diskon hukuman bagi terpidana kasus rasuah. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2020 ada delapan napi kasus korupsi yang dikorting hukumannya.
"Tetapi, ini negara, saya tidak ingin mengotak-kotakan dengan bilang itu bukan bagian pemerintah, tetapi itu menjadi indikator yang berakhir persepsi. Namanya juga CPI (Corruption Perception Index)," tutur dia lagi.
Lalu, apa yang menyebabkan IPK Indonesia anjlok hingga tiga poin? Bahkan, bila dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Timor Leste dan Malaysia.
