Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya terus terjadi. Salah satunya adalah kasus ibu yang menyetrika anaknya di Jambi dan kasus anak yang diikat orangtuanya di pohon pisang di Boyolali, Jawa Tengah.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, mengatakan, orangtua adalah panutan dan contoh hidup pertama untuk anak serta pendidik dan pelindung agar anak tumbuh dengan baik. Dengan demikian, keluarga pun seharusnya menjadi tempat yang aman untuk anak.

“Orangtua seharusnya menjadi pelindung bagi anak, bukan pelaku kekerasan. Bisa jadi orangtua yang melakukan kekerasan dulunya adalah korban. Ini harus diputus mata rantai kekerasan, tidak boleh berulang turun-temurun,” kata Nahar dalam keterangannya, Rabu (26/9/2023).

1. Kekerasan sisakan trauma pada anak

Nahar sebagai Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA (dok. Kemen PPPA)

Dia menjelaskan, dua kasus kekerasan terhadap anak seperti yang terjadi di Boyolali dan Jambi sangat memprihatinkan dan memberikan dampak trauma mendalam bagi anak. Mulai dari munculnya perasaan malu atau menyalahkan diri sendiri, cemas atau depresi, hingga kehilangan minat untuk bersekolah.

Kemudian, anak juga mempunyai kecenderungan stres pascatrauma, seperti terus-menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya bahkan bisa tumbuh sebagai anak yang mengisolasi diri sendiri dari lingkungan sekitar.

Nahar menyampaikan, adanya ketimpangan relasi kuasa yang nyata antara pelaku dan korban memungkinkan kekerasan itu terjadi. Korban tidak bisa melawan apalagi saat ada ancaman.

2. Aturan menjelaskan orangtua wajib mengasuh dan menjaga anak

Editorial Team

Tonton lebih seru di