Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Marak Kasus Revenge Porn, Bagaimana Jerat Hukumnya?

ilustrasi media sosial (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi media sosial (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Belakangan, informasi menghebohkan terkait revenge porn menyeruak di tengah masyarakat. Revenge porn sendiri jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah "Porno balas dendam" atau "Porno pembalasan". 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan bahwa revenge porn sebagai malicious distribution atau penyebaran konten yang merusak reputasi secara digital dengan motif balas dendam.

Penyebaran konten pornografi ini dilakukan orang-orang terdekat atau lainnya sebagai wujud kecemburuan maupun rasa tidak terima. 

1. Revenge porn dianggap sebagai istilah yang problematik

Ilustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)
Ilustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Belakangan istilah revenge porn disebut problematik atau punya implikasi yang merugikan.

Umumnya, menurut SAFEnet, kekerasan yang terjadi pada korban dilakukan karena korban dianggap telah berbuat salah terlebih dahulu, sehingga pelaku berhak melakukan balas dendam.

“Serta kata pornografi mengacu pada industri hiburan, padahal konten intim dalam kasus ini biasanya diproduksi bukan ditujukan sebagai konten untuk industri pornografi, melainkan atas dasar intimasi sebagai pasangan,” sebut SAFEnet dalam modulnya, dilansir Jumat (30/6/2023).

2. Revenge porn adalah sebutan lain dari NCII

Ilustrasi kekerasan/pelecehan seksual. IDN Times/Sukma Shakti
Ilustrasi kekerasan/pelecehan seksual. IDN Times/Sukma Shakti

Meski lebih dikenal dengan istilah revenge porn, penyebutan lainnya adalah penyebaran konten intim non-konsensual atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII). Ini adalah bentuk kekerasan berbasis gender online

Di mana pelaku memanfaatkan konten intim korban untuk mengancam atau mengintimidasi agar keinginannya terpenuhi.

3. Sanksi bagi pelaku penyebaran konten intim di UU ITE

Ilustrasi pornografi (IDN Times/Sukma Shakti)
Ilustrasi pornografi (IDN Times/Sukma Shakti)

Pelaku revenge porn bisa dijerat dengan hukum yang ada di Indonesia, di mana penyebaran konten asusila aturannya termaktub dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik (UU ITE) nomor 19 tahun 2016.

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan,"

Sanksinya tertulis dalam pasal 45 UU ITE, yang berbunyi:

"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

4. Potensi kriminalisasi korban

Ilustrasi tersangka (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi tersangka (IDN Times/Mardya Shakti)

Namun, Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai aturan yang berlaku malah memidanakan korbannya, seperti kasus penyebaran konten porno yang diduga seorang artis berinisal RK. Dia justru dipolisikan  dengan tuduhan tindak pidana pornografi dan/atau pidana kesusilaan dalam UU ITE. 

Kasus RK menjadi satu dari sekian kasus yang menunjukkan urgensi dari revisi UU ITE khususnya Pasal 27 ayat (1) tentang penyebaran konten bermuatan kesusilaan.

"Tidak jelasnya definisi “kesusilaan” dalam pasal ini mengakibatkan pasal ini menjadi pasal karet yang justru dapat dipakai untuk mengkriminalisasi juga korban kekerasan seksual yang memperjuangkan haknya sebagai korban. Ketentuan ini seksis, dan sedari awal tumpang tindih dengan UU Pornografi," tulis ICJR dalam keterangan resminya, dilansir Jumat.

Kasus liannya adalah yang pernah menimpa Baiq Nuril,di mana pasal ini dapat menyasar korban kekerasan seksual. Padahal, ICJR mengungkapkan korban kekerasan seksual seharusnya jadi pihak yang dilindungi oleh Negara, bukan sebaliknya.

"Oleh karenanya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE sebaiknya dihapus dari revisi kedua UU ITE," kata ICJR.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
Dwifantya Aquina
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us