Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!

Masyarakat harus diajak bicara

Jakarta, IDN Times – Koalisi Masyarakat Lapor COVID-19 menemukan sejumlah data dan fakta lapangan yang menunjukkan Indonesia belum berhasil memenuhi indikator untuk menerapkan new normal atau normal baru di tengah pandemik COVID-19. Menurut koalisi, di sejumlah provinsi justru ditemukan data-data “aneh” terkait dengan update data COVID-19.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun telah memberi restu kepada kepada sejumlah wilayah untuk melakukan normal baru. “Presiden Jokowi memerintahkan Ketua Gugus Tugas memberikan kewenangan kepada 102 Pemerintah kabupaten/kota yang saat ini berada dalam zona hijau melaksanakan kegiatan masyarakat produktif dan aman COVID-19,” kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo melalui keterangan tertulis, Sabtu (30/5) lalu.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 per Selasa (2/6) menunjukkan ada peningkatan 609 kasus positif COVID-19 di Indonesia, sehingga angkanya mencapai total 27.549 kasus. Tercatat ada 48.023 Orang Dalam Pemantauan (ODP), 13.213 Pasien Dalam Pengawasan (PDP), 1.663 kasus meninggal dan 7.935 kasus sembuh.

1. Aturan WHO soal pelonggaran lockdown dan penerapan new normal

Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!Grafis Covid-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Baca Juga: Hasil Survei: Warga DKI Jakarta Belum Siap Memasuki Fase Normal Baru

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan enam kriteria dalam pelonggaran lockdown atau pembatasan wilayah. Keenam kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, menunjukkan bukti bahwa transmisi COVID-19 telah dapat dikendalikan

Kedua, kapasitas sistem kesehatan masyarakat mampu mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak, dan mengarantina kasus COVID-19

Ketiga, risiko wabah dapat diminimalisasi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan pemukiman padat penduduk

Keempat, penerapan tindakan pencegahan di tempat kerja ditetapkan, termasuk jaga jarak, fasilitas cuci tangan, dan etiket pernapasan

Kelima, risiko terkait impor kasus COVID-19 di masa yang akan datang agar dapat dikendalikan

Keenam, masyarakat sepenuhnya diedukasi, dilibatkan dan diberdayakan pada masa transisi untuk hidup di kehidupan normal yang baru

Perwakilan Koalisi Warga untuk Lapor COVID-19, Irma Hidayana, mengingatkan, pada 11 April 2020 lalu WHO menyampaikan, pencatatan kematian itu harus terus dimutakhirkan datanya. Mereka yang meninggal dengan memiliki gejala klinis COVID-19 harus dicatat sebagai kematian COVID saja. "Karena bisa jadi ada lack of access untuk mendapat tes PCR," kata Irma dalam konferensi pers yang ditayangkan di kanal YouTube Lapor COVID 19, Sabtu (30/5).

Koalisi mencatat hanya ada 22 dari 34 provinsi yang mengikuti anjuran pencatatan WHO. Ke-22 provinsi tersebut adalah Banten, Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTT, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

Bahkan menurut Irma tak semua provinsi memiliki pencatatan kematian ODP dan PDP.

Lapor COVID-19 menghimpun data ODP, PDP, dan angka positif terkonfirmasi COVID-19 yang meninggal di seluruh Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Tepatnya di 479 kabupaten/kota dari total 514 Kabupaten/Kota yang ada.

"Hasil rekap yang kami lakukan tiap hari, kami menemukan pelaporan ODP dan PDP masih belum seragam. Belum memenuhi anjuran WHO yang meminta semua pencatatan terkait kematian COVID-19 sebagai kematian COVID-19," kata Irma dalam paparannya.

2. Skenario terburuk secara sosial jika Indonesia ngotot terapkan new normal

Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!Grafis COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Sosiolog Bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir, memaparkan kemungkinan terburuk yang terjadi jika new normal atau normal baru tetap dipaksakan untuk dilaksanakan.

“Kemungkinan paling buruk adalah kita akan melihat gelombang baru atau mungkin gelombang yang sekarang itu akan terus naik lagi, sehingga kita akan melihat banyak orang yang tertular,” kata Sulfikar dalam kesempatan yang sama.

Pemerintah dinilai Sulfikar belum melakukan pekerjaan rumahnya secara penuh. Hal ini dapat dilihat dari penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang longgar. Karantina wilayah di daerah-daerah yang menjadi episentrum dilakukan tidak dengan serius.

“Dengan kondisi seperti ini, kemudian kita memaksakan diri untuk masuk ke new normal kondisinya akan menjadi lebih parah,” kata Sulfikar. “Dan akhirnya kita akan melihat ketimpangan sosial yang lebih parah yang termanifestasikan di dalam jumlah korban yang muncul,” kata dia lagi.

Sulfikar khawatir jika normal baru dipaksa diterapkan, Indonesia akan bernasib sama seperti Italia atau Brasil yang jumlah pasien terinfeksi mencapai titik puncak dan harus memilih siapa-siapa saja yang harus dirawat.

3. Akan selalu ada kelompok yang lebih rentan dan tidak terinklusi

Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!(Ilustrasi aplikasi ojek online GoJek) ANTARA FOTO/Asprilia Dewi Adha

Sulfikar juga mengatakan, dari kacamata sosial, risiko yang mungkin muncul tidak akan dirasakan merata. Karena akan ada kelompok-kelompok yang lebih rentan dibanding kelompok lain. Baik dari segi medis mau pun sosial ekonomi.

Kelompok rentan secara sosial ekonomi menurut Sulfikar adalah mereka yang tinggal di daerah pemukiman padat, atau yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas untuk bisa bertahan dalam situasi ekonomi yang sedang menurun. Kelompok ini menurut Sulfikar terbilang sangat minim menerima informasi mengenai cara membuat diri mereka lebih aman.

“Jadi perilaku keselamatan mereka juga itu minim karena minimnya juga informasi yang masuk ke kelompok ini akibat akses yang kurang,” kata Sulfikar.

Ketimpangan ini, menurut dia, akan semakin menganga jika kondisi normal baru semakin dipaksakan. Belum lagi faktor pelayanan rumah sakit di tanah air yang masih memiliki keterbatasan.

Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan, pihaknya melihat jelas mereka yang tidak terintegrasi dalam konsep new normal atau normal baru pemerintah. "Orang-orang yang tidak akan mendapatkan keuntungan dari new normal ini adalah orang-orang yang terancam keselamatannya," kata Elisa.

Dalam hal ini dia menjelaskan kelompok tersebut termasuk orang-orang yang mungkin tidak punya pilihan bisa naik kendaraan pribadi, dalam hal ini mobil. Pula kelompok yang terdiri dari orang-orang yang selama ini tinggal dalam hunian yang sempit. "Dan itu sama sekali tidak dipikirkan pada saat new normal itu akan diberlakukan," kata Elisa.

Berdasarkan catatan yang dimiliki Rujak Center for Urban Studies, tercatat ada 2.700 orang di Provinsi DKI Jakarta yang harus menjalani karantina mandiri. Sebagian besar dari mereka berada di pemukiman yang padat.

"Sebagian besar tinggal di Sunter Agung, Pademangan Barat, Petamburan, Kebon Kacang dan Penjaringan," kata Elisa. Kelima kelurahan tersebut masuk dalam jajaran 20 kelurahan terpadat di DKI Jakarta.

4. Kemungkinan timbulnya civil disobedience, atau perlawanan masyarakat

Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!Rapid test massal yang dilakukan di terminal Keputih, Sukolilo Kamis (4/6). IDN Times/Radiktya Catur

"Menurut saya penggunaan istilah new normal ini itu bisa jadi sesuatu yang misleading. Karena seakan-akan situasinya itu sudah normal cuma kemudian ada perubahan yang kita harus lakukan," kata dia Elisa.

Sulfikar khawatir akan ada perlawanan masyarakat yang muncul. "Saya khawatirnya yang akan muncul itu adalah civil disobedience," kata Sulfikar. Perlawanan masyarakat yang dikhawatirkan muncul terkait dengan menolak anjuran dari pemerintah.

Menurut dia jika hal ini terjadi justru akan semakin sulit bagi Indonesia menghadapi pandemik ini. "Karena kemampuan kita untuk melawan wabah ini hanya bisa efektif jika terjadi kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah," kata Sulfikar.

5. Masyarakat harusnya dilibatkan sebelum keputusan new normal diambil

Indonesia Siap Jalani New Normal? Tunggu Dulu!Sosiolog Bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir (YouTube.com/Lapor COVID 19)

Pelibatan masyarakat secara luas disebut Sulfikar perlu dilakukan. Pada dasarnya yang berhadapan dengan risiko langsung adalah masyarakat. "Dan secara etis mestinya pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan itu harus melakukan konsultasi, harus menanyakan pendapat dari masyarakat," kata Sulfikar.

"Karena merekalah yang disuruh masuk ke new normal ini. Merekalah yang disuruh berhadapan COVID-19 pada saat wabah itu belum reda," lanjut dia.

Ketika kebijakan pelonggaran PSBB dan new normal diterapkan, bukan hanya syarat-syarat medis dan teknis yang dipenuhi tapi juga syarat sosial. "Sehingga terjadi kepercayaan publik kepada pemerintah. Tanpa itu tidak akan ada yang namanya new normal," kata Sulfikar lagi.

Kritik mengenai pemberlakuan new normal ini pun disampaikan Elisa. "Kalau di awal atau mungkin sampai sekarang juga, pemerintah itu kurang begitu mendengarkan ahli epidemiologi," kata Elisa. "Era kemunduran yang baru. Jadi bukannya normal, jadi kayak new backward aja," kata Elisa lagi.

Baca Juga: Pengamat: Bukan Normal Baru, tapi Kemunduran yang Baru!

Topik:

  • Margith Juita Damanik
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya