Tak Semua Peneliti Sepakat RI Segera Masuk New Normal, Mengapa?

Ada yang khawatir RI bisa jadi episentrum dunia COVID-19

Jakarta, IDN Times – Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah di Indonesia sudah harus berganti ke era new normal atau kenormalan baru. Namun pendapat ini tidak seratus persen didukung oleh sejumlah pengamat ataupun peneliti lainnya.

"Data nasional menunjukkan bahwa jumlah tambahan kasus harian mulai menurun, jumlah mereka yang sembuh meningkat pesat dan jumlah kematian akibat COVID-19 juga menunjukkan grafik menurun," kata peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, pada konferensi pers daring, pada Jumat (5/6).

Lalu, apa kata peneliti lainnya?

1. Alasan PSBB harus berakhir dan beralih ke normal baru versi LSI Denny JA

Tak Semua Peneliti Sepakat RI Segera Masuk New Normal, Mengapa?Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (15/5/2020) (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Peneliti LSI Denny JA menilai PSBB yang selama ini dilakukan sudah membuahkan hasil yang positif. “Data nasional menunjukkan jumlah mereka yang sembuh setiap harinya terus meningkat, sementara yang dirawat di rumah sakit terus menurun dari hari ke hari,” kata Rully. Hal ini menjadi alasan pertama pihaknya menilai Indonesia perlu beralih ke tahapan selanjutnya yakni new normal

Alasan kedua adalah penghitungan risiko ekonomi yang kemungkinan semakin tinggi. Rully menilai harus ada strategi baru yang dilakukan agar tak semakin banyak warga yang terdampak secara ekonomi akibat pandemik COVID-19. 

LSI mencatat hingga Mei 2020, pandemik COVID-19 lebih banyak menyebabkan warga kehilangan pekerjaan ketimbang yang terpapar virus mematikan tersebut. Lagipula tanpa melakukan PSBB pun, sejumlah daerah di Indonesia tetap berhasil mengendalikan virus corona

Di negara lain yang tidak menerapkan pembatasan berskala sosial atau karantina wilayah, kemunculan COVID-19 bisa dikendalikan. Itu yang menjadi alasan ketiga menurut LSI, Indonesia perlu segera menerapkan new normal. 

Baca Juga: Ada 102 Zona Hijau COVID-19 di Indonesia, New Normal Dimulai di Sana

2. Skenario terburuk jika new normal dipaksakan

Tak Semua Peneliti Sepakat RI Segera Masuk New Normal, Mengapa?Ilustrasi New Normal (IDN Times/Arief Rahmat)

Sosiolog Bencana yang juga Associate Professor dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Sulfikar Amir, justru memaparkan kemungkinan terburuk jika new normal tetap dipaksakan untuk terlaksana. Menurutnya, bila normal baru gagal, maka gelombang kedua COVID-19 tidak bisa dihindari terjadi di Indonesia.

“Kemungkinan paling buruk adalah kita akan melihat gelombang baru atau mungkin gelombang yang sekarang itu akan terus naik lagi, sehingga kita akan melihat banyak orang yang tertular,” kata Sulfikar dalam konferensi pers daring yang ditayangkan lewat kanal YouTube Lapor Covid 19 pada (30/5) lalu. 

Sulfikar menilai pemerintah belum optimal melakukan tugasnya untuk membendung COVID-19. Hal itu bisa dilihat dari pelaksanaan PSBB yang cenderung longgar dan karantina wilayah di daerah-daerah yang menjadi episentrum tidak dilakukan secara serius.

“Dengan kondisi seperti ini, kemudian kita memaksakan diri untuk masuk ke new normal kondisinya akan menjadi lebih parah,” kata Sulfikar. “Dan akhirnya kita akan melihat ketimpangan sosial yang lebih parah yang termanifestasikan di dalam jumlah korban yang muncul,” kata dia lagi.

Sulfikar mengkhawatirkan Indonesia Indonesia akan bernasib sama seperti Italia atau Brasil yang jumlah pasien terinfeksi mencapai titik puncak dan harus memilih siapa-siapa saja yang harus dirawat jika new normal tetap dipaksa berlaku.

3. Benarkah Indonesia sudah siap menjalani new normal?

Tak Semua Peneliti Sepakat RI Segera Masuk New Normal, Mengapa?Ilustrasi penerapan new normal di restoran (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Direktur Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja dalam konferensi pers daring yang ditayangkan lewat kanal YouTube Lapor Covid 19 pada (30/5) lalu menyoroti penerapan konsep dan langkah normal baru oleh pemerintah. "Orang-orang yang tidak akan mendapatkan keuntungan dari new normal ini adalah orang-orang yang terancam keselamatannya," kata Elisa.

Kelompok ini termasuk orang-orang yang mungkin tidak punya pilihan bisa naik kendaraan pribadi, dalam hal ini mobil. Adapula kelompok yang terdiri dari orang-orang yang selama ini tinggal dalam hunian yang sempit.

"Dan itu sama sekali tidak dipikirkan pada saat new normal itu akan diberlakukan," kata Elisa.

Menurut Elisa, di wilayah DKI Jakarta masih ada orang-orang yang dalam kesehariannya harus berjuang namun harus menjalani isolasi mandiri lantaran terpapar virus ini.

Rujak Center for Urban Studies mencatat ada 2.700 orang di Provinsi DKI Jakarta yang harus menjalani karantina mandiri dan sebagian besar dari mereka berada di pemukiman yang padat.

"Sebagian besar tinggal di Sunter Agung, Pademangan Barat, Petamburan, Kebon Kacang dan Penjaringan," kata Elisa. Kelima kelurahan tersebut masuk dalam jajaran 20 Kelurahan terpadat di DKI Jakarta.

Elisa mengingatkan penduduk di wilayah pemukiman padat dan kumuh masih terus memiliki kemungkinan terpapar virus corona. Hal tersebut tidak boleh diabaikan oleh Pemprov DKI. "Orang-orang itu yang saya khawatir tidak dipikirkan pada saat new normal itu," kata dia lagi.

4. Kasus kematian PDP tercatat masih lebih banyak ketimbang kematian positif COVID-19

Tak Semua Peneliti Sepakat RI Segera Masuk New Normal, Mengapa?Pasien meninggal dunia diangkat untuk proses pemakaman COVID-19 (Dok.IDN Times/Istimewa)

Dalam konferensi pers daring Laporan Covid 19, perwakilan Koalisi Warga untuk Lapor COVID-19, Irma Hidayana mengkritisi pencatatan perkembangan kasus COVID-19 di sejumlah daerah di Tanah Air. Padahal menurut Irma, sesuai dengan anjuran WHO, mereka yang meninggal dengan memiliki gejala klinis COVID-19 harus dicatat sebagai kematian COVID saja.

"Karena bisa jadi ada lack of access untuk mendapat tes PCR," kata Irma. Koalisi mencatat hanya ada 22 dari 34 provinsi yang mengikuti anjuran pencatatan WHO. Ke-22 provinsi tersebut adalah Banten, Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Lampung, NTT, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

Bahkan menurut Irma tak semua provinsi memiliki pencatatan kematian ODP dan PDP.

"Hasil rekap yang kami lakukan tiap hari, kami menemukan pelaporan ODP dan PDP masih belum seragam. Belum memenuhi anjuran WHO yang meminta semua pencatatan terkait kematian COVID-19 sebagai kematian COVID-19," kata Irma dalam paparannya.

Baca Juga: Tiga Alasan PSBB Harus Berakhir Versi Survei LSI Denny JA

Topik:

  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya