Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan Pangan

Kisah petani dan harapannya pada pemerintah selama pandemik

Jakarta, IDN Times – Usianya tak lagi muda. Lebih kurang 23 tahun bekerja sebagai petani, Sudi (43) masih terus berladang, menggarap tanah, demi memastikan keluarganya memiliki stok pangan meski di tengah pandemik. Pemikirannya soal ketahanan pangan tak serumit yang dipikirkan penguasa.

“Begitu panen, semai, tampung dulu di rumah. Sebagai persediaan dalam satu tahun,” tuturnya ketika dihubungi IDN Times pada Kamis (15/5).

Prioritasnya jelas dan sederhana. Seisi rumahnya dan keluarga dekatnya punya bahan pangan untuk dikonsumsi harian, itu saja.

1. Sebelum pandemik datang, lahannya diambil pemerintah untuk mendirikan bandara

Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan Panganjoss.co.id

Sudi lahir dan besar di Kulon Progo, Yogyakarta. Sehari-hari dia bekerja menggarap sawah miliknya dan lahan milik orang lain. Lokasinya di Kecamatan Temon. Tak perlu menunggu pandemik datang bagi Sudi untuk terancam kehilangan lahan dan mata pencariannya.

Keputusan pemerintah untuk membangun bandara di Kulon Progo ternyata menyakiti Sudi secara emosional dan ekonomi. Lahan yang biasa dipakai Sudi untuk bercocok tanam kini diambil sebagai lahan untuk bandara.

 “Karena tempatnya tergusur bandara, terpaksa harus ngontrak di luar wilayah Temon,” kata Sudi bercerita kepada IDN Times.

“Sekitar 15 menit naik motor (dari Temon),” lanjut dia.

Sudi tak memungkiri ada uang ganti rugi yang diberikan, meski dia enggan menyebut nominalnya.

“Ada ganti rugi cuman kita gak bisa menolak, (gak bisa) mempertahankan tanah itu. Mereka tetap mengambilnya,” kata Sudi bercerita.

“Tapi gak bisa negosiasi dan transaksi. Mereka yang menentukan harga,” lanjut dia.

Meski begitu, sawah yang biasanya digunakan Sudi untuk menanami padi masih berada di wilayah Temon, Kulon Progo, Yogyakarta.

2. Mayoritas hasil panen padi tidak dijual oleh petani

Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan PanganIDN Times/Wayan Antara

Untuk tanaman padi, dalam kondisi normal Sudi dapat memanen dengan total hingga 2,5 ton. Sebesar 1,5 ton dari lahan milik keluarganya dan satu ton dari lahan orang lain yang dibantu digarapnya.

Menariknya, hasil panen padi yang menurut Sudi bisa terjadi dua kali dalam setahun tidak langsung dijual oleh par petani.

“Kita simpan untuk persediaan selama satu tahun. Sisanya nanti kita lihat situasi. Kalau pandemik seperti ini mau jual juga sayang. Sedang saudara-saudara kita banyak yang gak bertani dan membutuhkan jadi kita bagikan,” kata Sudi

Dalam satu tahun, keluarga Sudi sendiri mengaku membutuhkan 5 kuintal sebagai stok bahan pangan.

“Kalau padi itu kita cuman sekadar persediaan makan gak bingung lagi. Jual sisanya doang, jadi gak berharap lebih,” kata Sudi.

Baca Juga: 8 Strategi Kementan Jaga Ketahanan Pangan di Tengah Pandemik 

3. Menanam sayur mayur untuk dijual

Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan PanganPixabay.com/jacqueline macou

Tak hanya padi, Sudi juga menggarap lahan yang biasa ditanami sayur mayur. Sayangnya, imbas lahannya yang diambil untuk dijadikan bandara, kini Sudi harus mengontrak di lahan orang lain. Sekitar luasan 75m x 55m lahan bercocok tanam sayur mayur milik Sudi diambil untuk dijadikan lahan bandara.

Sudi biasa menanami kisaran tujuh pak bibit di lahan sayur-mayurnya.

“Biayanya bisa sekitar, satu pak sekitar 2 juta, jadi kalau tujuh itu 14 juta modal awal,” kata Sudi bercerita.

Panennya sendiri menurut Sudi cenderung tak menentu. Umumnya, Sudi bisa memanen 6 hingga 7 kuintal sayur mayur. Dalam setahunnya, menurut Sudi bisa bertotal satu ton dalam setahunnya.

Sudi dan keluarga sendiri paling banyak menanam cabai di lahannya. Sudi bercerita, dalam kondisi normal angka jual tertinggi mencapai Rp50.000 per kilonya. Atau kisaran maksimal lebih kurang Rp35 juta.

“Sekarang murah banget, Rp3.000 sekarang per kilonya,” kata Sudi.

Oleh sebab itu, di tengah masa pandemik ini, ketika harga jual justru turun, Sudi mengaku tak banyak menjual hasil panennya dan memilih untuk mulai menanam. Berharap musim panen nanti pandemik sudah berakhir dan harga berangsur membaik.

4. Petani tetap nekat ke sawah meski pemerintah terapkan lockdown

Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan PanganSudi, petani asal Kulon Progo, Yogyakarta (Dok.IDNTimes/istimewa)

“Kalau petani itu gak berpengaruh sekali di pandemik ini. Kita bisa punya persediaan makanan di rumah. Kita gak begitu susah,” kata Sudi bercerita soal nasibnya dan rekan-rekan sesama petani di Kulon Progo.

Satu hal yang dikhawatirkan Sudi adalah jika pemerintah melarang masyarakat keluar rumah dan menerapkan lockdown.

“Kalau petani tetap ngeyel. Risikonya juga gak terlalu. Kita itu cuman jalannya dari rumah ke lahan. Sedangkan lahan kita itu sangat panas,” kata Sudi.

Namun menurut dia, para petani tetap menjalankan aturan pemerintah seperti menggunakan masker ketika berada di luar rumah. Sebagian besar petani dalam perjalanan menuju lahan mereka, menurut Sudi terlihat menggunakan masker.

Soal bantuan dari pemerintah, sepengetahuan Sudi baik dia dan rekan-rekannya belum mendapatkan bantuan apa pun.

“Justru sebagian teman-teman menggalang suatu aksi untuk membantu teman-teman kita yang di kota yang gak bisa beraktivitas sama sekali,” kata Sudi.

Para petani lantas beramai-ramai mengumpulkan sayuran dan membagikan ke kerabat atau keluarga di kota. Dari Kulon Progo, umumnya sayuran dikirimkan ke Yogyakarta.

5. Harapan petani kepada pemerintah

Perjuangan Petani Kala Pandemik, Jatuh-Bangun Jaga Ketahanan PanganDok. Biro Pers Kepresidenan

Siapa sangka pembangunan infrastruktur justru lebih besar dan menyakitkan dampaknya bagi petani ketimbang situasi pandemik.

“Kalau menurut kita sebagai petani, kemampuan kita itu cuman sekadar bertani. Jadi kalau lahan kita lahan petani dialihfungsikan kayak bandara, itu kita sangat rugi sekali,” cerita Sudi pada IDN Times.

Dia menyayangkan keputusan pemerintah membangun bandara di Kulon Progo dan membuat petani terpaksa menjual lahannya.

“Ekonomi kita morat-marit. Kalau sudah diambil seperti ini, ya harus ngontrak, lah,” kata dia.

Salah satu kesulitan petani di masa pandemik ini menurut Sudi adalah mendapatkan bibit dan berjualan.

“Untuk transport menjualnya yang susah, tapi untuk bertahan hidup untuk makan gak bingung,” kata Sudi.

“Harapannya untuk pemerintah itu kalau petani gak segitu berhubungan langsung dengan orang lain jangan terlalu dikekang, biar petani itu gerak dan menghasilkan pangan untuk saudara-saudara kita yang lain,” lanjut Sudi.

Dia juga berharap agar lahan pertanian diperluas bukan malah digusur. Agar para petani dapat lebih berkembang lagi.

Baca Juga: Jamin Ketersediaan Pangan, Petani Optimalkan Pompa Air Saat Kemarau 

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya